[pullquote]Kehadirannya mengubah segalanya, mengubah rencana panjang kami, memutar agenda perjalanan kami. Dan….. pada akhirnya dia membuat sempurna keberadaan kami sebagai ayah dan ibu yang spesial. Odilia, puteri kami lahir dengan Sindroma Treacher Collins”[/pullquote]
Delapan Desember 2008, pukul 06.18 merupakan saat yang paling membahagiakan bagi kami. Di RSIA Asih, Jakarta Selatan puteri pertama kami lahir, dan kami beri nama Odilia Queen Lyla (Odil panggilannya). Kehadirannya 2 minggu lebih cepat dari perkiraan dr. Nurwansyah, Sp.OG(K). Saya sempat panik, karena mengalami pecah ketuban usai mengikuti beberapa kegiatan. Dalam perjalanan dari Depok ke RS kami terus berdoa memohon perlindungan dan bimbingan-Nya.
Proses persalinan terbilang mudah dan tidak memakan waktu lama. Saya diterima pihak rumah sakit pukul 23.30, pukul 06.18 keesokan harinya Odilia lahir melalui proses kelahiran spontan dengan hanya 2 kali mengejan. Lanjut dengan proses inisiasi menyusui dini (IMD). Good job, girl! You did it! Odilia lahir dengan kondisi BBLR (Berat Badan Lahir Rendah), 2350g dan panjang 45 kg.
Seperti ibu baru lainnya, saya harus segera memberi ASI. Setelah 6 jam istirahat untuk memulihkan tenaga pasca persalinan, saya menuju ruang bayi untuk menyusui. Dimana dia? Satu persatu boks bayi saya telusuri. “Mana bayi saya? Wajahnya mirip semua, yang beda hanya selimutnya saja; pink untuk bayi perempuan dan biru untuk bayi laki-laki.” Sungguh tidak menyangka ternyata Odilia masih berada dalam inkubator dan berada di ruangan terpisah. Saat itulah baru tersadar bahwa bayi saya tergolong prematur karena lahir di minggu ke 36.
Sedih rasanya melihat si kecil saya sendirian di dalam inkubator dengan selang oksigen menghias saluran pernapasannya. Saya hanya bisa menyentuh jari-jari mungilnya melalui lubang tangan mesin inkubator. Saya tetap mencoba melakukan skin to skin sebagai salah satu sarana membangun bonding.
Puji Tuhan saya diperbolehkan mendekapnya, walaupun sesudah itu saya harus merelakan Odil kembali ke inkubator. Saya mencoba menyusuinya, tapi Odil belum juga mau membuka mulutnya. Dia diam, meski saya coba menyentuh bibirnya, mengoyang-goyangkan dagunya dengan lembut agar dia mau menyusu. Saya tak akan menyerah. Saya harus bisa memberi ASI!
Tepat di hari ketiga, saya dan Odil diperbolehkan pulang. Dokter anak dan dokter obgin menyatakan bahwa ibu dan bayi dalam kondisi baik. Odil lahir dalam kondisi prematur namun memiliki panca indera lengkap; mata baik, hidung dan mulut sehat, jari tangan dan kaki lengkap, telinga luar terbentuk sempurna dan jumlahnya dua. Yesss!! Let’s go home now!
Kini kami punya keluarga kecil yang lengkap; saya, suami, dan Odil. Kartu Keluarga pun telah diperbaharui, tertera nama si kecil Odilia Queen Lyla. Kehadiran Odil membuat “semarak” hidup kami, plus dengan segala kerepotannya. Saya sempat dilanda baby blues, ditambah lagi Odil sulit menyusui secara langsung. E-Ping menjadi salah satu penyelamat agar Odil tetap bisa menikmati ASI, meski ASI diperoleh dengan memerahnya secara manual. Odil baru bisa menyusu setelah usianya 1 tahun.
Imunisasi sekaligus kontrol ke dokter spesialis anak rutin saya lakukan Tak jauh berbeda dengan bayi-bayi umumnya, selain kegiatan menyusui, imunisasi pun rutin dan tepat waktu kami lakukan. Kunjungan ke dokter anak terjadwal rapi di agenda saya. Hubungan dokter dan orangtua pun terbentuk juga terjalin harmonis diantara kami.
Perkembangan Odil hari demi hari memperlihatkan milestone yang baik. Dia belajar tengkurap, memegang mainan, memegang botol ASI sendiri, mencoba duduk tanpa bantuan maksimal, tumbuh gigi susu. Namun ada satu tahapan yang tidak dilakukan Odil, dia tidak merangkak. Mulai masuk usia 1 tahun Odil belum juga ada keinginan untuk berjalan, ada perasaan takut yang dirasakan Odil ketika kami ajari berjalan. Kekhawatiran ini tentunya kami sampaikan kepada dokter anak, tetapi pak dokter menyatakan Odil baik-baik saja. Oke, kami akan menunggu dengan sabar.
Namun….kesabaran toh ada batasnya! Masuk usia 18 bulan Odil belum juga berjalan dengan kakinya sendiri, walaupun sudah berdiri tegak. Lagi-lagi dokter hanya meminta kami untuk bersabar. Pada akhirnya di usia 1 tahun 9 bulan Odilia bisa berjalan tanpa bantuan apapun atau siapapun. Lega sekaligus tenang.
Lalu bagaimana dengan tahapan bicaranya? Nah… kekawatiran baru muncul kembali. Kok Odil ngomongnya belum banyak, padahal usianya hampir 3 tahun. Kata-kata yang keluar sebatas memanggil mami, papi, oma, opa, mbak, susu, dsb. Pembahasan baru yang harus disampaikan ke pak dokter, ada apa ya dok? “Gak apa-apa kok bu, nanti juga pelan-pelan bisa bicara. Rajin distimulasi saja, Bu.” Gak puas dengan jawaban pak dokter, saya lari pindah ke lain hati, mencari second opinion gak ada salahnya toh.
Kali ini saya mengandalkan ibu dokter. Beliau meminta kami untuk memeriksakan Odil ke Klinik Tumbuh Kembang agar bisa diberikan terapi wicara (TW) dan Sensor Integrasi (SI). Dengan sedikit berat hati (karena kami merasa sudah cukup memberikan stimulasi melalui permainan edukasi, buku-buku cerita anak, dsb) kami menurut pada saran Ibu dokter. Di rumah sakit berbeda, Odil menjalani terapi wicara dan terapi sensor integrasi seminggu sekali, selama 2 jam. Para terapis terus memberikan stimulasinya kepada Odil dengan semangat 45 sambil tetap melakukan observasi untuk perkembangannya.
Tiga bulan pertama dilalui, psikolog menyarankan test IQ, hasilnya cukup baik meskipun ada beberapa hal yang seharusnya sudah bisa dilakukan Odil diusianya ketika itu. Kesimpulan dari sang Psikolog bahwa awalnya dia berpikir Odil adalah anak dengan ADHD atau Autis, tetapi beliau tidak menangkap sinyal itu karena Odil termasuk anak yang kooperatif setiap kali mengikuti terapi. Lalu apa dan kenapa, bu Psikolog? Hal itu yang belum bisa Beliau jawab.
Seluruh terapi akhirnya kami berhentikan karena keterbatasan biaya, dan kami melihat ada banyak kemajuan pada Odil semenjak 1,5 tahun mengikuti terapi tersebut. Kosakata yang diterima Odil semakin banyak walaupun belum lancar berbicara.
Odil mulai aktif mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah Play Group. Kami memasukkan anak kami ke sekolah agar sosialisasinya semakin baik. Kami berharap dia mampu beradaptasi dengan teman-temannya dan sebagai bahan praktek membangun komunikasi dua arah. Sekolah Play Group dan Taman Kanak-Kanak menjadi tempat aktivitas rutin Odil sampai dia masuk Sekolah Dasar (SD).
Pertengahan tahun 2015 ini menjadi tahun yang amat berat untuk saya, suami dan Odilia sendiri. Bagaimana tidak…. ditengah-tengah kesibukan kami mencari Sekolah Dasar untuk Odilia, kami dikejutkan dengan sebuah hasil pemeriksaan medis dari dokter spesialis THT-KL bahwa Odilia terkena sindroma langka yang bernama Treacher Collins Syndrome/TCS (Mandibulofacial Dysostosis), yaitu suatu cacat lahir yang langka pada bagian kraniofasial yang memperlihatkan adanya bentuk wajah yang khas, seperti kepala yang kecil, tidak adanya tulang pipi, kelopak mata yang terkulai dan rahang yang retrusif dikarenakan tulang pipi dan tulang rahang yang tidak berkembang. Dikarenakan struktur fisik wajah yang demikian, biasanya anak-anak yang menderita kondisi ini memiliki kesulitan untuk bernapas dan makan, serta kehilangan pendengarannya. Kondisi ini diwariskan dalam sifat autosomal dominan, yang berarti bahwa hanya diperlukan salah seorang dari orangtua untuk mewariskan gen TCOF1 yang rusak sehingga anak dikatakan menderita sindrom ini.
Kondisi ini diketahui setelah seorang dokter anak menyarankan Odilia mengikuti tes BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry). Ia curiga setelah melihat lubang telinga Odil yang agak kecil dan sempit. Hasil dari pemeriksaan BERA dan CT Scan Bone Window diketahui bahwa telinga tengah yang terdapat 3 tulang kecil (Ossicles) tidak terbentuk. Dokter menyatakan Odilia memiliki gangguan pendengaran dengan hasil 70db (telinga kanan) dan 90 db (telinga kiri). Saran: harus menggunakan alat bantu dengar dengan hantaran tulang yang diberi nama BAHA (Bone Anchored Hearing Aid). Alat ini merupakan alat bantu dengar yang sulit didapatkan karena sangat jarang, sehingga untuk mendapatkannya kami harus indent beberapa bulan. Harga alat ini pun sungguh fantastis, Rp 55 juta per alat. Diluar dugaan kami, dari mana uang sebanyak itu harus kami peroleh? Tapi saya tetap berusaha, mengingat ia akan memasuki SD.
Pertama mengenakan BAHA, mata putri kecil saya tampak berbinar. Untuk pertama kalinya, dia bisa mendengar suara saya. Dia peluk saya sambil berkata “Mami…Mami…” Ternyata selama ini Odil mampu berbicara karena ia membaca gerak bibir lawan bicaranya termasuk terapi wicaranya, tanpa memahami konteks kata-kata atau kalimat yang diucapkannya. Selama 6 tahun lebih, putri kecil saya tidak mendengar dengan baik. Ya Tuhan….
Dengan kondisi yang ada saat ini, Odilia harus menjalani beberapa pemeriksaan lainnya, seperti gigi/rahang/rongga mulut karena kelainan ini membentuk kondisi langit-langit mulut tinggi (high arched palate), juga kepala Odil yang kecil (mikrosefali), dan entah kejutan-kejutan apalagi yang akan kami terima.
Terus terang saya tidak habis pikir, bagaimana mungkin para dokter dan terapis tidak mengetahui adanya kelainan seperti ini. Seharusnya mereka bisa mendeteksi dari awal, sehingga ketertinggalan Odil, khususnya perkembangan bicaranya bisa diatasi sesegera mungkin.
Awalnya kami sulit menerima keadaan ini, namun jika kami terus terpuruk bagaimana dengan Odilia? Dia akan semakin mengalami kemunduran dalam perkembangannya. Cukup sudah kami merana, kami kubur dalam-dalam kekecewaan itu. Kami harus move on demi sang buah hati.
Puji Tuhan, kini Odil duduk di kelas 1 SD sebuah sekolah swasta, dikelilingi teman-teman sebayanya. Tuhan Maha Baik, saat periksa MRI kepala, dokter spesialis saraf anak menyatakan otak Odil berkembang dengan baik. Di kelasnya Odil didampingi shadow teacher untuk membantunya. Namun secara keseluruhan ia mampu mengikuti pelajaran di sekolahnya.
Buat para orangtua dengan anak TCS, terima mereka dengan cinta, berikan tempat untuk mereka berkarya dan berjuang. Anak TCS sebenarnya memiliki bahasa, memiliki intelejensi yang baik, hanya belum mampu berkomunikasi dua arah. Kondisi tersebut cenderung diakibatkan adanya masalah pada pendengaran. Kepada masyarakat, terimalah anak-anak dengan TCS dengan cinta, mereka sama dengan anak-anak lainnya.
Salam spesial,
Yola Tsagia/Mama Odilia