[pullquote]Beberapa waktu lalu terhembus kabar tentang obat batuk yang ‘tidak aman,’ lalu bagaimana ya memilih obat batuk yang tepat ?[/pullquote]
Pada dasarnya, setiap dokter menginginkan obat yang tepat mengarah pada penyebab penyakit hingga penyebab sakit pada pasien hilang dan pasien kembali sehat. Misalnya, pasien yang demam meriang satu minggu disertai batuk berwarna hijau diobati antibiotika karena dokter menganggap penyabab sakit adalah bakteri. Bakteri ini yang membuat pasien demam dan batuk. Batuk merupakan gejala yang akan hilang bila kuman diberantas. Jadi pada kasus ini bukan batuk yang menjadi tujuan pengobatan dokter, melainkan penyebab batuk.
Namun, seringkali penyebab pasien datang ke dokter adalah gejala yang mengganggu, meski penyebabnya bisa hilang dengan sendiri, misalnya virus. Justru sebagian besar pasien terutama anak-anak datang ke praktik dokter karena penyebab virus yang sebenarnya dapat sembuh sendiri. Keluhan batuk atau pilek bahkan kadang tak mengganggu si anak, meski mungkin mengganggu orang tuanya. Misalnya, si kecil tenang-tenang saja meski ada lendir mengalir di hidung, atau sesekali batuk, atau demam dengan suhu rendah. Ia bahkan masih aktif bermain.
Pada kasus lain, anak datang dengan keluhan batuk atau hidung mampet yang membuatnya tidak bisa tidur. Ia tidak bisa belajar karena keluhannya, atau pada bayi, ia menjadi rewel dan gelisah tidurnya. Pada kasus-kasus ketika gejala menjadi sangat mengganggu kualitas hidup, pada saat inilah obat-obat pereda gejala mungkin dibutuhkan.
Mana yang tepat
Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai obat apa yang paling “tokcer” untuk melawan batuk. Namun pada garis besarnya, terdapat obat yang menekan pusat batuk, obat yang mengencerkan dahak agar batuk berkurang, obat yang mengurangi peradangan saluran napas agar batuk berkurang, atau obat yang melegakan saluran napas hingga batuk berkurang. Di apotek mungkin kita akan sering mendengar istilah sebagai berikut:
Antitusif: bekerja menekan pusat batuk yang terletak di medulla oblongata otak. Batuk terjadi akibat adanya rangsangan di saraf sensorik saluran trakea dan bronkus yang menstimulasi saraf aferen kemudian mengaktifasi pusat batuk. Obat anti tusif memblokade jalur ini hingga otak tidak “memerintahkan” tubuh untuk batuk. Termasuk dalam golongan obat ini adalah kodein dan dekstrometorfan.
Mukolitik/ekspektoran: bekerja melarutkan mukus atau lendir hingga viskositas lendir berkurang dan memudahkan untuk dibatukkan. Cara kerja mukolitik yang lain adalah menguraikan dahak sehingga menjadi lebih encer atau mudah dibuang. Mukolitik contohnya adalah N-acetylcystein, bromheksin. ambroksol, atau guaifenesin. Bentuk obat bisa berupa tablet, sirup,, injeksi, atau inhalasi. Penguapan dengan larutan isotonis (NaCl 0,9%) adalah cara ampuh sederhana untuk mengencerkan dahak. Begitu juga minum air putih yang banyak, berada pada suhu dan kelembaban yang sesuai dapat menjadi solusi jitu menghindari dahak yang kental.
Obat-obatan lain seperti bronkodilator (pelega saluran bronkus) tidak secara langsung mengurangi batuk namun dapat membantu mengurangi gejala bila memang penyebab batuk berasal dari penyempitan saluran pernapasan.
Mengobati penyebabnya
Semua rangsang pada saluran napas baik itu di tenggorokan hingga bronkus dapat menyebabkan batuk. Batuk dianggap sebagai suatu gejala adanya iritasi di saluran napas, petanda adanya gangguan di area pernapasan. Yang terpenting adalah menuntaskan apa yang menyebabkan refleks batuk muncul. Gejala batuk.