[quote type=”center”]Duh, si kecil sering terlihat sedang menggigiti kukunya. Bahkan sampai bentuk kukunya tampak tidak normal saking seringnya. Ada apa, ya ?[/quote]
[dropcap style=”font-size: 60px; color: #83D358;”]M[/dropcap]enggigit kuku adalah kebiasaan yang paling sering muncul di usia kanak-kanak, umumnya di usia 4-6 tahun. Menggigit-gigit kuku pada anak dilakukan karena bosan, tertekan, imitasi atau meniru, kebiasaan, eksplorasi diri atau mengalihkan rasa cemas terhadap sesuatu.
Menggigit kuku memang sering dikategorikan sebagai “kebiasaan yang dilakukan saat keadaan cemas”, sama halnya dengan menarik-narik rambut, menggeretakkan gigi, mengorek hidung dan lain sebagainya. Jika dibiarkan, kebiasaan ini bisa terbawa hingga dewasa.
Ada berbagai penyebab
Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi munculnya kebiasaan menggigit kuku.
- Faktor genetika. Dalam beberapa penelitian ditemukan fakta bahwa genetik atau faktor keturunan cukup berpengaruh memunculkan kebiasaan menggigit kuku. Jika salah satu atau kedua orangtua suka menggigit kuku, maka kemungkinan besar anak akan memiliki kebiasaan yang sama.
- Faktor imitasi. Semakin sering anak melihat lingkungannya melakukan kebiasaan tersebut, kemungkinan anak akan menirunya.
- Mengalihkan rasa tertekan atau stres. Dengan menggigit kuku, anak mendapatkan kesempatan untuk melepaskan ketegangannya. Beberapa peristiwa kurang menyenangkan yang memperkuat munculnya kebiasaan menggigit kuku antara lain perceraian orangtua, anak yang sulit beradaptasi, kurang percaya diri, mengalami bullying, penganiayaan atau kekerasan.
- Kebiasaan yang diawali dengan sekadar “iseng”, kemudian secara tidak disadari anak menemukan rasa nyaman dengan menggigiti kuku. Akibatnya, saat anak dalam keadaan yang sedang bosan atau tidak memiliki aktivitas yang berarti makan kebiasaan ini akan muncul.
Normal atau tidak?
Semakin beranjak dewasa, seorang anak akan menganggap lingkungan merupakan hal yang mengancam dan seringkali menimbulkan perasaan tegang dan tertekan. Ia akan mencari cara-cara mempertahankan diri dan membuatnya merasa secure (nyaman). Bagi beberapa anak, menggigit kuku menimbulkan sensasi yang berbeda seperti rasa nyaman dan aman, terutama karena ia telah berhasil mengalihkan perasaan yang tidak nyaman dengan aktivitas tersebut.
Secara psikologis, kebiasaan tersebut masih dapat dikatakan normal atau wajar jika tidak menghambat fungsi kehidupannya sehari-hari. Anak masih dapat melakukan aktivitasnya dan tetap produktif. Misalnya ia menggigit kuku ketika menonton televisi atau saat ia merasa kaget dengan situasi baru, hal itu masih dapat dikategorikan normal. Karena ia sedang berusaha mengatasi kebosanan atau ketegangannya.
Akan tetapi, jika kebiasaan menggigit kuku sampai melukai dirinya sendiri misalnya berdarah dibagian ujung-ujung kuku, maka hal itu dapat dikategorikan sebagai suatu yang abnormal. Bahkan ada pula yang sampai menghambat produktivitasnya sehari-hari. Jika menemukan hal tersebut, segeralah bertindak untuk mengatasi masalahnya.
Perhatikan hal ini
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan orangtua untuk menyikapi kebiasaan menggigit kuku tersebut :
- Memberikan pengertian kepada anak mengenai dampak buruk dari menggigit kuku, misalnya bisa membuatnya sakit perut karena kotoran yang ada terselip di sekitar kuku dan jarinya.
- Memberikan batasan akan lebih baik dibandingkan dengan memberikan hukuman, misalnya dengan mengingatkannya “tidak menggigit kuku saat di meja makan”. Dengan menetapkan batasan maka anak akan memahami bahwa menggigit kuku tidak boleh dilakukan.
- Membantu anak untuk menyadari kebiasaan menggigit kuku adalah sesuatu yang kurang baik. Alihkan kebiasaan tersebut dengan melakukan serangkaian aktivitas seperti berolahraga, bermain clay, lego, puzzle, painting dan lain sebagainya.
Mengindentifikasi kecemasannya. Cobalah untuk menggali keresahan anak. Jika orangtua sudah mampu untuk mengindentifikasi penyebab kecemasan anak, maka akan lebih mudah baginya untuk menyelesaikan masalahnya. Misalnya saja karena anak merasa kurang percaya diri di sekolah yang baru, maka orangtua dapat memberikan dorongan atau motivasi secara konsisten untuk membangun kepercayaan dirinya.