[pullquote]Bencana asap yang terjadi di pulau Sumatera dan Kalimantan masih mewarnai tajuk berita di negeri ini. Bagaimana hal ini bisa terjadi dan bagaimana penanganannya? Lalu, apa efeknya pada masyarakat, terutama orangtua dan anak-anak, yang tinggal di daerah tersebut? Mari kita telaah bersama.[/pullquote]
[dropcap]P[/dropcap]encemaran udara oleh kabut dan asap akibat terjadinya kebakaran hutan yang berkombinasi dengan musim kemarau panjang di provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan pulau Kalimantan ini sudah berlangsung sejak bulan Juni 2015. Hingga awal bulan November ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) masih mendeteksi puluhan titik api di kedua pulau ini melalui satelit, di mana 77 titik ada di Sumatera dan 63 titik di Kalimantan.
Kondisi darurat bencana
Akibat dari kabut asap ini, jarak pandang pun terbatas antara 100 hingga 10.000 meter saja di beberapa kota. Polusi parah pun tak terelakkan, bahkan pemerintah sempat menetapkan keadaan darurat di provinsi Riau pada tanggal 14 September 2015 karena tingkat pencemaran yang telah melebihi batas berbahaya.
Kondisi parah ini tak hanya terjadi di negeri kita sendiri. Berdasarkan arah mata angin, asap dari pulau Sumatera terus mengarah ke negeri tetangga yaitu Singapura dan Malaysia. Walapun segala upaya telah diusahakan oleh pemerintah dibantu oleh masyarakat dan negara tetangga untuk memadamkan kebakaran lahan gambut yang terjadi, upaya ini belum membuahkan hasil maksimal dan kabut asap pun kian menebal.
Secara ilmiah, lahan gambut memiliki sifat spesifik, yaitu berat isi (bulk density) rendah, sehingga memiliki daya simpan air sangat tinggi namun kemampuan menahan beban rendah. Selain itu, lahan gambut memiliki laju subsiden (penurunan permukaan tanah) yang cepat jika kehilangan air (lengas), dan sifat mengering tidak balik. Semua ini menyebakan lahan gambut berkarakter seperti spons yang menyerap air dengan cepat namun mudah hilang.
Ladang gambut dalam keadaan kering akan mudah terbakar karena tinggi kandungan karbon. Cuaca musim kemarau panjang yang begitu panas dan ekstrem yang ditandai dengan angin kencang dan udara yang sangat kering pun menyebabkan api mudah menjalar dan meluas.
Kecerobohan dan ketidakpedulian manusia
Selain karena cuaca panas dan kering yang memperarah perluasan titik api di sejumlah provinsi seperti Riau, Jambi dan Pontianak sehingga menyebabkan kabut asap pekat, sebuah lembaga riset menyatakan bahwa faktor manusia memang merupakan penyebab kebakaran hutan di sejumlah provinsi. Dengan kata lain, lahan tersebut ‘sengaja dibakar’ untuk membuka perkebunan.
Memang tak dipungkiri bahwa pembakaran hutan merupakan cara yang paling mudah dan murah untuk mengubah lahan hutan menjadi kebun kelapa sawit yang saat ini dianggap sebagai ‘emas hijau’ di kalangan para investor, sekaligus menaikkan harga lahan.
Kerugian yang dialami
Jadi, berapa kerugian yang kita alami? Untuk kerugian lingkungan, menurut riset CIFOR (The Center for International Forestry Research), kebakaran hutan di Provinsi Riau melepaskan sekitar 1,5 – 2 milliar ton karbondioksida ke udara. Emisi gas karbon yang terus meningkat ini juga menyumbang kenaikan suhu bumi dan pemanasan global. Kabarnya, Indonesia mengalami kerugian ekonomi akibat kabut asap sekitar Rp20 triliun dalam dua bulan, sedangkan Singapura menyatakan kerugian ekonomi mereka mencapai sekitar Rp16 triliun.
Namun, yang dampak paling menakutkan dari bencana ini adalah terjadinya krisis lingkungan yang parah dan hilangnya sumber air bagi manusia yang biasanya disimpan di hutan-hutan gambut. Perlu dipahami bahwa wilayah yang terbakar ini tidak memiliki gunung atau pegunungan yang berfungsi menyimpan cadangan air tanah. Jika gambut terbakar dan kering, maka bisa dipastikan bahwa cadangan air tanah di Riau juga kering.
Selain itu, kebakaran ini juga berdampak serius pada menyusutnya keanekaragaman hayati hutan tropis di Indonesia yang memiliki lebih dari 260 spesies tanaman per hektar, belum termasuk spesies satwa. Berbagai ekosistem pun terancam punah!
Berbagai spekulasi mengenai siapa yang bertanggung jawab di balik kebakaran dahsyat ini pun bermunculan, mulai dari perusahaan produksi tisu hingga perkebunan kelapa sawit.
Tentu saja, berargumen tentang hal ini hanya makin menimbulkan perdebatan tak henti. Jauh lebih baik jika pemerintah dan masyarakat makin bahu membahu mengatasi bencana yang mengganggu kesehatan, lingkungan, hubungan dengan negara tetangga serta kegiatan keseharian masyarakat yang terimbas dampaknya ini. Semoga dapat segera diselesaikan hingga tuntas.
Sulitnya Memadamkan Api
Ribuan personil TNI pun turun tangan lengkap dengan peralatan modern, namun mereka mengaku kewalahan memadamkan api yang mencapai setinggi 60 meter, walaupun didukung beberapa unit pesawat water bombing, helikopter dan pesawat tanpa awak (drone) untuk memantau titik-titik api di beberapa tempat.
Ada empat hal yang menyebabkan lambannya pemadaman api:
- Wilayah yang terbakar sangat luas.
- Kebakaran terjadi di lahan gambut yang mengandung karbon tinggi saat dalam keadaan kering.
- Kekeringan lahan gambut ini menyebabkan api semakin sulit dipadamkan.
- Titik-titik kebakaran sulit dijangkau karena keterbatasan akses ke lokasi.
Suaka Margasatwa Kerumutan
Salah satu lokasi terparah dan ramai dibicarakan di media massa adalah kebakaran yang terjadi di Suaka Margasatwa Kerumutan di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, di mana sudah 200 hektar luas area kawasan konservasi tersebut terbakar sejak awal Oktober lalu, bahkan kabar terakhir sudah mencapai 1.000 hektar lebih yang terbakar!
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Pelalawan bersama TNI dan POLRI terus berupaya menjinakkan api, namun sayangnya belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Bahkan, berdasarkan pengamatan di lapangan, kebakaran di daerah Kerumutan tersebut sepertinya memang disengaja.
Beberapa titik di hutan konservasi seluas 120.000 hektar yang setengah dari luasnya merupakan kawasan lindung gambut ini pernah mengalami kebakaran pada tahun 2014, di mana lahan tersebut telah ditanami tanaman kelapa sawit yang saat ini berumur setahun.