Suatu hari Kiki (6 tahun) tidak mau bersekolah. Bahasa tubuhnya
menunjukkan bahwa ia tidak nyaman, cemas dan gelisah. Sebenarnya bukan
sekali dua Kiki seperti ini, orangtuanya menduga terjadi sesuatu pada
diri putra sulung mereka.
Dalam perjalanannya, proses tumbuh kembang anak adalah proses
dinamis, yang dipengaruhi oleh faktor konstitusional, maturasional dan
juga lingkungan. Ketiga faktor tersebut saling berkaitan dalam
menentukan karakter dan potensi anak di kemudian hari.
Penolakan
bersekolah dengan latar belakang kecemasan pada anak merupakan salah
satu contoh kasus yang berkaitan dengan proses di atas. Walaupun belum
ada angka prevalensi yang pasti di Indonesia, akhir-akhir ini kasus
penolakan bersekolah sebagai dampak dari berbagai gangguan jiwa
(terutama gangguan cemas) cenderung sering dijumpai.
Studi kepustakaan di luar negeri diperoleh angka prevalensi penolakan bersekolah sekitar 5 persen, angka tertinggi dijumpai pada rentang usia 5-6 tahun dan 10-11 tahun. Tidak ada perbedaan jender pada angka tersebut.
Anak menolak bersekolah, sudah pasti membuat orangtua dan guru menjadi khawatir, karena bagaimanapun bersekolah merupakan tanggung jawab anak. Selain menuntut ilmu, dengan bersekolah anak juga belajar bersosialisasi dengan lingkungan.
Kearney dan Silverman (1996) mendefinisikan perilaku penolakan sekolah sebagai suatu motivasi anak untuk tidak hadir di sekolah atau tidak mau tinggal dalam kelas mengikuti semua pelajaran pada hari itu. Dengan demikian, anak ingin cepat-cepat pulang meninggalkan kelas. Anak mungkin mencari berbagai alasan seperti berbagai jenis keluhan somatik.
Penolakan sekolah bukan merupakan suatu diagnosis klinis melainkan suatu gejala klinis dari berbagai gangguan jiwa tertentu misalnya gangguan cemas (sebagian besar), depresi, dan gangguan belajar.
Gangguan cemas
Merupakan gangguan yang paling banyak dialami anak yang tidak mau bersekolah. Last dan Strauss (1990) menyatakan bahwa 43,4 persen kasus penolakan bersekolah dilatar belakangi rasa cemas. Sementara Bernstein (1990) melaporkan 60-80 persen kasus penolakan disebabkan oleh kecemasan perpisahan, diikuti gangguan cemas lainnya, antara lain; gangguan cemas menyeluruh, fobia sosial, fobia spesifik, gangguan panik, dan gangguan stres pascatrauma.
- Gangguan cemas perpisahan. Merupakan suatu gangguan yang ditandai oleh adanya kecemasan berpisah dengan seseorang yang lekat dan dekat dengannya.
- Gangguan cemas menyeluruh. Ditandai dengan adanya preokupasi akan masa depan atau kejadian-kejadian di masa lalu sehingga menimbulkan kecemasan pada diri anak yang prominen.
- Gangguan panik. Anak akan menunjukkan adanya suatu serangan kecemasan yang hebat yang timbulnya spontan yang akan memebuat anak menjadi waswas akan timbulnya serangan serupa di masa mendatang. Akibatnya, anak tidak mau keluar rumah tanpa ditemani oleh orangtua.
Penyebab dari kasus penolakan bersekolah dikelompokkan menjadi 3:
Faktor dari dalam diri anak
- Anak mengalami distress emosional tertentu seperti kecemasan, depresi atau kesulitan berhubungan dengan lingkungan, serta kesulitan belajar.
- Anak memiliki temperamen sulit (difficult temperament) dan pemalu (slow to warm up temperament) lebih banyak menolak bersekolah dibanding dengan anak yang bertemperamen mudah (easy temperament).
Faktor yang berasal dari orangtua, terutama berkaitan dengan interaksi anak-orangtua.
- Anak dengan temperamen sulit dan pemalu seringkali memiliki interaksi buruk dengan orangtuanya sehingga memicu kecemasan anak.
- Anak yang memiliki orangtua dengan gangguan jiwa (depresi, panik) meningkatkan gangguann cemas pada anak.
- Pola asuh yang terlalu protektif atau terlalu mengontrol juga meningkatkan risiko gangguan cemas anak.
Faktor lingkungan sekolah.
- Hubungan yang tidak serasi antara anak dengan teman-teman sekolahnya.
- Kemampuan intelek anak yang tidak sesuai dengan tuntutan sekolah.
- Pengalaman gagal dalam pendidikan
Pendekatan yang dapat dilakukan
Berdasarkan petunjuk American Academy of Child and Adolescent Psychiatry (AACAP, 1997) tatalaksana kasus penolakan bersekolah dengan latar belakang kecemasan adalah dengan pendekatan multimodal, dengan menggabungkan terapi kognitif dan terapi obat antidepresan.
Referensi
- American Academy of Child and Adolescent Psychiatry (AACAP, 1997), Practices Parameters for the Assesment and Treatment of Children and Adolescent with Anxiety Disorders, J Am Acad Adolesc Psychiatry, 36 (suppl):698-848.
- Bernstein BE (2004), Anxiety Disorder: Separation Anxiety and School Refusal, Department of Child Psychiatry, Children’s Hospital of Philadelphia.