[pullquote]Awalnya membuka kelas dalam rangka liburan sekolah, namun ternyata justru pesertanya lebih banyak ibu dan anak gadisnya.[/pullquote]
Atas desakan beberapa teman, Anita Abdulkadir membuka mixed media art class (MMAC) pada Desember 2014. Walaupun sebenarnya tahun 2012 ia pernah mengadakan MMAC di Jakarta dan Bandung atas permintaan salah satu scrapbook store dan disponsori oleh salah satu majalah wanita. Sesudah itu ia sempat vacuum mengajar karena kesibukan bekerja.
Tahun lalu ibu dua anak ini membangun studio mungil di kediamannya yang asri di Jagakarsa, Pasar Minggu, yang dirancang untuk private class berkapasitas 4 orang. “Dari sinilah beberapa teman “memaksa” saya untuk membuat kelas yang awalnya untuk mengisi liburan anak sekolah di bulan Desember 2014. Awalnya saya bingung juga kira-kira project apa yang mudah. Tdak mengharuskan orang menggambar, namun memberikan pengalaman dan pengetahuan dasar-dasar mixed media art,” tuturnya.
Di suatu hari minggu Anita membuat sebuah project sederhana tanpa menggambar hanya kolase (seni menempel kertas) dan basic layering. Semua ia hanya ingin untuk anak-anak dalam rangka libur sekolah. Namun sang suami Rivan memberi masukan kelas dibuka untuk semua umur bukan hanya untuk anak-anak.
“Saya share di facebook, hanya untuk dua kelas, masing-masing kelas terdiri dari empat peserta. Ajaib. Hanya hitungan menit kedua, langsung fully booked, dan menyisakan banyak waiting list. Alhasil, saya tambah menjadi enam kelas. Semua diadakan Sabtu,” tukas wanita yang berkantor di sebuah perusahaan manajer investasi, di bilangan Sudirman ini. Dan usulan sang suami ternyata tepat, karena yang mendaftar sebagian justru ibu-ibu.
“Kelasnya per-project, selesai dalam satu hari pertemuan. Itu sebabnya berlangsung sampai 7 jam. Setiap project diberi tema agar mudah mengingatnya, contohnya project yang pertama bertema “Moment of Happiness” (untuk beginners) dan project ke -2 diberi nama “Hello Sunshine” juga untuk beginners namun tingkat kesulitannya lebih tinggi sedikit dibanding kelas pertama karena sudah dimasukkan cara menggambar wajah sederhana,” tutur Anita yang membatasi hanya 6 kelas (batches) dan setiap batch-nya diikuti 4 peserta. Alasannya, karena kapasitas studio dan juga memudahkan memperhatikan satu per satu peserta. Di dalam kelas, biasanya Anita dibantu satu orang asisten.
Semua alat dan bahan sudah disediakan. Jika ternyata setelah mempelajari mixed media peserta benar-benar tertarik dan ingin terus berkarya, barulah mereka membeli alat dan bahan yang diperlukan. Alat dan bahan yang disediakan di kelas berkualitas cukup baik dan beragam sehingga peserta dapat lebih berkreasi, terutama dalam pemilihan warna cat acrylic. Peserta juga mendapatkan video tutorial.
Yang unik adalah Anita selalu menghidangkan snack buatannya dan juga makan siang dengan menu rumahan untuk para peserta MMC.
“Kelas ini menjadi “me time” bagi peserta yang kebanyakan adalah ibu-ibu. Mungkin saat ini “me time” bukan melulu harus ke salon atau spa atau nongkrong dari mall ke mall atau dari café ke café, tapi mereka dapat menjadi diri mereka sendiri dan menikmati waktu luang mereka di kelas saya ini. Melihat mereka tersenyum dan terlihat sangat bahagia di kelas merupakan “bayaran” yang luar biasa bagi saya,” kata Anita happy. “There is always a child in a grown up person.” Dan, sepertinya si “anak kecil“ ini dapat bebas sesaat dan ikut “bermain” dalam kelas mixed media art ini.
Kegembiraan Anita yang lain, kelas mixed media art ini bisa menjadi sarana “mom and daughter activities.” “Senang rasanya kelas saya bisa menjadi bagian dari hubungan antara seorang ibu dengan anak perempuannya.”
Anita Abdulkadir: “Art is an escape without leaving home”
Hingga saat ini masih saya masih tidak percaya memiliki hobi seperti sekarang. Dulu, saya adalah wanita tanpa hobi, hidup fokus pada hanya satu hal saja. Contohnya, saat kuliah ya fokus pada pelajaran kuliah saja, apalagi dulu saya kuliah di dua tempat, jurusan Sastra Cina dan Bahasa Prancis, keduanya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Setiap hari hanya fokus kuliah saja. Begitu juga pada saat mulai bekerja dan berumah tangga, hidup saya hanya fokus pada pekerjaan dan mengurus keluarga. Saya justru bingung kalau melihat orang yang punya hobi. Kok bisa ya?
Entah kenapa tahun 2004 tiba-tiba saya senang mengoleksi majalah dan buku mengenai “Doll House” dan juga miniatur. Dulu agak malu juga kok sudah gede begini masih suka dengan “Doll House,” namun saat mencari banyak sumber bacaan dan informasi mengenai Dollhouse, barulah saya sadar bahwa “doll house” adalah sebuah hobi dewasa sama seperti seorang laki-laki mengoleksi miniatur mobil, pesawat, atau figur super hero misalnya.
Hobi saya ini mendapat dukungan dari suami, Rivan Abdulkadir dengan cara membelikan saya banyak majalah dan buku mengenai miniatur dan dollhouse baik terbitan dalam maupun luar negeri. Hobi pada dollhouse inilah yang membawa saya mempelajari pembuatan miniatur dengan menggunakan bahan polymer clay. Hobi ini saya jalani cukup serius dengan mengikuti kursus pembuatan miniatur dari polymer clay di dalam maupun luar negeri. Hobi ini merupakan cikal bakal saya menyukai hobi-hobi lainnya.
Mulai melirik scrapbook
Dari polymer clay, saya mulai mengenal kertas-kertas cantik (scrapbook paper) yang biasa digunakan sebagai background project polymer clay. Awalnya kertas-kertas cantik ini saya dapat dari adik ipar saya di London, karena jaman dahulu masih susah mendapatkan kertas scrapbook karena toko scrapbook masih sangat terbatas tidak seperti sekarang ini. Inilah awal ketertarikan saya pada hobi berikutnya yaitu scrapbook yang merupakan hobi kedua setelah miniatur polymer clay. Sampai saat ini saya juga masih mengerjakan scrapbook namun lebih kepada “social scrapbooker”, hanya untuk ngumpul-ngumpul dengan teman-teman sesama scrapbooker sambil berbagi teknik baru.
Sesuai tujuannya, scrapbook itu sebenarnya merupakan seni menghias foto. Namun kendalanya adalah sulit menemukan foto yang cocok dengan project yang sedang saya kerjakan, karena dua anak saya laki-laki yang tengah beranjak remaja. Hahaha, pose-pose mereka sudah tidak “lucu” lagi untuk dijadikan obyek scrapbook. Diilhami oleh salah satu kelas scrapbook dari Donna Downey yang pernah saya ikuti di Singapura saat itu, saya mulai mengenal mixed media scrapbooking yang bahannya banyak menggunakan bahan painting seperti kanvas dan cat acrylic. Tanpa diduga, saya jatuh cinta pada kanvas dan cat acrylic dan sejak saat itu saya terus mendalami mixed media art dan mulai belajar menggambar. Padahal sebelumnya, saya sama sekali tidak suka menggambar.
Saya tidak percaya seseorang harus punya bakat dulu untuk melakukan sesuatu. Segala sesuatu itu bisa dipelajari dan Tuhan memberikan semua orang kepandaian, asalkan mau belajar. Saya lebih suka mengatakan bahwa saya tidak tertarik pada satu bidang tertentu daripada saya katakan saya “tidak punya bakat.”
Saya belajar mixed media art (painting) sejak tahun 2007 sampai sekarang saya masih terus belajar dari mulai otodidak, hanya dengan melihat cara-cara dan tekniknya melalui Youtube, ikut kelas on line beberapa artist ternama dari Inggris, Amerika dan Australia sejak 3 tahun belakangan ini. Harus saya akui bahwa gambar saya mengalami perkembangan yang jauh lebih baik semenjak saya “berguru” kepada beberapa orang tersebut.
Art is an escape without leaving home
Pekerjaan saya di bidang Pasar Modal memiliki tingkat stress yang cukup tinggi, terkadang saya ingin melepas pikiran saya dari pekerjaan di kantor. Hobi membuat saya melupakan sejenak pikiran dan tekanan yang ada dalam pekerjaan saya. Bukan hanya berhubungan dengan pekerjaan, kadang dalam kehidupan ini kita memiliki beban yang tidak bisa diceritakan atau tidak bisa diungkapkan. Bagi saya art is an escape without leaving home. Saya banyak menulis pikiran-pikiran saya pada artwork saya walaupun terkadang tidak dapat dibaca orang tapi saya tahu ada pemikiran saya di sana.
Mimpi saya ke depannya, pension dari pekerjaan dan membuat hobi ini menjadi aktivitas sehari-hari. Saya ingin serius menekuni bisnis art ini dari mulai art class sampai merchandisenya. Tapi masih belum tahu kapan waktu yang tepat karena saya masih harus membagi waktu saya sebagai pekerja kantoran.