[pullquote]Kelihatannya mendongeng itu sederhana ya ? Ternyata….banyak manfaatnya lho. Simak ulasan berikut.[/pullquote]
[dropcap style=”color: #83d358;”]H[/dropcap]ampir setiap anak senang mendengarkan cerita. Seperti Dika (8 tahun), yang setiap malam selalu meminta ibunya mendongeng. Sewaktu kecil, dia suka sekali mendengarkan cerita tentang hewan. Awalnya sang ibu membacakan buku untuknya. Lama-kelamaan, ia lebih suka kalau ibunya membuat karangan karya sendiri tentang dongeng hewan. Dan, seiring bertambahnya usia, ia mulai berpaling ke cerita tentang kisah manusia, dunia antariksa, dan cerita-cerita ilmiah. Dengan kata lain, dia lebih suka kisah real dibanding dongeng.
Beruntung, Indonesia memiliki cerita rakyat yang amat beragam dari berbagai daerah. Orangtua bisa bercerita ulang, atau sedikit memodifikasinya. Syukur-syukur kalau ayah/bunda bisa membuat cerita atau dongeng baru. Bisa dengan mengarang sendiri atau “mendaur ulang” berita di koran. Tentunya dengan memilih berita yang pantas didengar anak. Misalnya tentang orang yang berhasil menyelamatkan orang lain dari bahaya, kisah siswa yang memperoleh nilai UAN tertinggi, tokoh yang peduli dalam melestarikan lingkungan, dan cerita positif lainnya.
Bila orangtua memilih cerita rakyat, maka perlu kehati-hatian. Pasalnya, tidak semua cerita rakyat itu cocok didengar anak karena ada unsur-unsur ‘kedewasaan’ yang tersamar. Contohnya kisah batu belah, yang memiliki muatan kekerasan dalam rumah tangga (dari ayah ke ibunya), bahkan unsur bunuh diri, dimana si ibu masuk ke dalam batu belah (dan akhirnya meninggal dunia) atas kemauannya sendiri. Jika disampaikan pada anak yang masih belia, bisa jadi anak justru ketakutan ibunya akan meninggal dunia atau meninggalkan mereka.
Lalu, cerita apa yang cocok dikomsumsi anak? Idealnya sih, cerita-cerita itu sesuai dengan kebutuhan anak-anak, jauh dari unsur “kedewasaan”, serta memiliki nilai-nilai karakter yang positif. Bercerita atau mendongeng, dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alat untuk mengembangkan imaginasi, karakter sekaligus kemampuan kognitif anak. Melalui cerita, anak dapat diajak untuk berfikir kritis, melakukan analisa sintesa, mengenali hal-hal yang benar atau salah, serta mengembangkan keterikatan dan keakraban dengan orang tuanya.
Penelitian Harkin, Koch & Michel (1994) memperlihatkan peningkatan kemampuan narasi anak usia 5 tahun sebagai akibat dari mendengarkan cerita dari ibu mereka. Sementara, penelitian dari Pancsofar & Feagans (2010) menunjukkan bahwa jika ayah ikut menceritakan dongeng pada anak usia 6 bulan maka hal tersebut akan memberi pengaruh yang positif pada perkembangan bahasa anak di usia 15 – 36 bulan. Lalu, bagaimana cara orangtua dapat membuat dan memanfaatkan cerita/dongeng untuk anak? Berikut beberapa tips yang dapat digunakan.
# Menentukan tujuan
Kok ribet ya, mau bercerita saja harus menentukan tujuan segala. Tetapi, jangan salah, menentukan tujuan sangat penting. Kita akan memilih apa yang ingin kita capai dari anak. Garmo (2013) menyebutkan 10 karakter universal yang perlu dikuasai anak, antara lain: integritas, keyakinan, kedisiplinan, kerajinan, kebijaksanaan, kesetiaan, keberanian, kerendahan hati, kebaikan dan bersyukur. Akan tetapi, kita boleh menambahkan jenis karakternya kok, sesuai dengan kebutuhan masing-masing keluarga. Yang penting, karakter itu positif.
# Mencari cerita/dongeng yang tepat
Kalau sudah jelas, karakter apa yang ingin dibangun orangtua, barulah memilih cerita yang cocok. Misalnya orangtua ingin anaknya bertingkah laku rapi, tepat waktu dan hemat. Maka, karakter kedisiplinan-lah yang perlu dibangun. Cerita apa yang cocok? Pernah dengar cerita Si Tupai? Tupai selalu disiplin mengumpulkan makanannya di musim panas, sehingga ketika musim dingin tiba, mereka tidak akan kekurangan makanan, karena kenari tidak berbuah saat udara dingin.
# Mulailah mendongeng
Mendongeng atau bercerita adalah “pekerjaan” yang gampang-gampang susah. Gampang, karena hanya bermodalkan ide cerita dan suara. Susah, karena meski ide ceritanya seru, belum tentu anak tertarik mendengarkan cerita kita. Oleh sebab itu, ketika mulai mendongeng, pastikan tubuh dan suara Anda ikut “bercerita”. Gunakan intonasi suara yang tepat, intonasi yang berbeda untuk setiap karakter, gerakan tangan, gerakan mimik wajah, menggunakan bahasa yang mudah dimengerti anak-anak, dan interaktif dapat membantu anak untuk menghayati isi cerita kita.
# Lakukan refleksi
Refleksi dilakukan melalui pertanyaan setiap selesai bercerita, jangan lupa bertanya pada anak tentang isi cerita. Misalnya untuk cerita si Tupai: Bagaimana cara tupai bisa bertahan hidup di musim dingin? Apa yang dilakukannya di musim panas? Mengapa ia tidak pernah lalai untuk mengumpulkan makanan di musim panas? Dan sebagainya.
# Membuat action plan (rencana aksi)
Ajak anak menghubungkan cerita tadi dengan tingkah lakunya sehari-hari. Misalnya, disiplin dalam kegiatan belajar. Ajaklah anak berfikir alasan mengapa harus belajar setiap hari. Lalu, berikan pertanyaan-pertanyaan: Apa yang harus kamu lakukan ketika sedang belajar dikelas? Jika bu guru sedang menerangkan pelajaran, lalu temanmu mengajak mengobrol, apa yang akan kamu lakukan? Apa yang akan kamu lakukan apabila kamu sedang berjalan menuju sekolah, lalu temanmu mengajakmu membolos ?
Tidak sulit kan ? Jadi, tunggu apa lagi ? Ayo, mari kita mulai mendongeng.