[pullquote]Ketika anak berteriak-teriak di dalam pusat perbelanjaan karena kita melarangnya membeli mainan yang diinginkannya atau menangis setengah menjerit ketika kita memintanya untuk menghabiskan makanannya, inilah saat yang tepat melatih keterampilan mengatur emosi anak (sekaligus emosi diri Anda sendiri, tentunya). Orangtua memang perlu menjadi pelatih alias coach yang andal dalam mengajarkan anak mengatur emosinya.[/pullquote]
Emosi adalah bagian tak terpisahkan dari manusia
[dropcap style=”color: #83d358;”]B[/dropcap]anyak orangtua mempraktikkan kebiasaan mengontrol emosi anak dengan cara memarahinya atau melarangnya memperlihatkan emosi tertentu. Contohnya saja, kala anak marah karena dilarang bermain, lalu orangtua akan berkata, “Kamu tidak boleh marah karena kamu melanggar peraturan!” Dengan hal ini, anak pun merasa bahwa perasaannya tidak penting dan tidak seharusnya ia merasa marah.
Padahal, setiap emosi yang dirasakan anak adalah sesuatu yang sangat wajar dan orangtua memang sebaiknya tidak melarang anak untuk merasakan sesuatu. Menurut Daniel Goleman, penemu istilah Emotional Intelligence (EI), seorang anak akan mengalami perkembangan kecerdasan emosi kala ia belajar memahami, menggunakan, meregulasi dan mengatur emosinya demi kebahagiaan diri maupun kesuksesan dalam hidupnya.
EI ini menjadi kunci bagi orangtua untuk mengembangkan kemampuan anak dalam hal bersosialisasi, memahami dan mengikuti peraturan, serta meningkatkan prestasi akademik. Menurut Jeffry Bernstein, Ph.D, seorang psikolog yang juga penulis buku, “Liking The Child You Love”, kemampuan anak dalam mengatur apa yang ia rasakan sangat penting dalam proses anak belajar, memperhatikan, dan juga mengingat.
Lima kemampuan dasar
Kecerdasan emosional (EI) ini meliputi lima karakteristik dan kemampuan dasar yang harus dikuasai dengan baik oleh anak, tentunya dengan bantuan (coaching) dari orangtua. Karakteristik dan kemampuan itu dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Kesadaran diri (self-awareness)
Anak harus mampu mengidentifikasi emosi yang dirasakan, baik itu marah, sedih, kecewa dan lain sebagainya. Ia dapat merasakannya segera ketika perasaan itu datang dan dapat menyampaikan pada orang lain apa yang ia rasakan.
2. Menyesuaikan perasaan (mood management)
Anak dapat mengasosiasikan perasaan atau mood-nya sesuai dengan situasi yang dihadapi (ada kesesuaian). Misalnya ketika dalam situasi yang menyedihkan ia bisa murung atau menangis, sedangkan ketika ia diganggu temannya ia akan marah.
3. Memotivasi diri (self-motivation)
Kemampuan anak untuk mengatasi perasaan agar tidak menghalanginya dalam mencapai tujuan. Contohnya, walaupun ia merasa tak yakin atau kurang percaya diri (bahkan mungkin takut) saat mengikuti lomba, namun tetap bisa memperlihatkan usahanya yang terbaik.
4. Empati
Anak mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain dan menunjukkan bahwa ia ikut bersimpati dengan perasaan orang tersebut, baik melalui sikap maupun perkataan.
5. Mempertahankan hubungan dengan orang lain (managing relationships)
Si kecil Anda dapat mengatasi masalah dengan teman atau orang lain dengan baik, bahkan tanpa bantuan Anda. Misalnya ketika ia bertengkar dengan teman, segera melakukan sesuatu agar dapat berbaikan kembali dengan sang teman.
Jadilah emotional coach atau pelatih emosi anak. Biarkan si kecil merasakan apa yang ia rasakan dan bantu ia untuk mengidentifikasinya serta bersikap positif terhadap emosi tersebut. Karakter anak memang telah dibangun sejak ia dalam kandungan, namun sebuah penelitian di bidang neuroplasticity, peta otak (brain map) kita akan berubah sepanjang kita masih belajar dan berkembang. Jadi, bahkan anak yang saat kecil pemarah pun bisa diarahkan untuk lebih memiliki self-control ketika ia dewasa.
Sesuaikan dengan usia mereka
Problem emosi di tiap tingkatan usia anak ini berbeda dan perlu dilakukan pendekatan yang khusus pula. Berikut cara untuk membantu anak melakukan self-control menurut W. Douglas Tynan, Ph.D, ABPP, seorang professor Psikologi di Jefferson Medical College dan Psikolog Senior di AI duPont Hospital for Children, Amerika Serikat:
a. Usia hingga 2 tahun
Anak-anak di rentang usia ini biasanya masih mengalami gap antara apa yang diinginkan dan kemampuannya. Ia masih sering memperlihatkan temper tantrum, kemarahan yang meledak-ledak. Alihkan perhatiannya pada mainan atau hal lain hingga mereda. Untuk anak yang mendekati 2 tahun, dapat dilakukan time-outs dengan memintanya duduk di kursi kecil di pojok ruangan untuk menenangkan diri.
b. Usia 3-5 tahun
Gunakan konsep time-outs agar ia dapat mengatasi perasaannya dan menenangkan diri tanpa bantuan Anda. Kemampuan mengatasi diri bagi anak usia ini akan membaik sehingga frekuensi time-outs pun dapat berkurang. Beri ia pujian kala ia mampu mengatasi perasaannya tanpa harus tantrum.
c. Usia 6-9 tahun
Memasuki masa sekolah, anak sudah lebih mengerti konsekuensi dari tindakan sehingga mereka lebih memilih untuk bersikap baik. Saat sedang dalam keadaan marah, minta anak untuk beralih untuk melakukan hal yang menyenangkan, agar ia dapat menenangkan diri.
d. Usia 10-12 tahun
Anak yang lebih besar biasanya sudah lebih mampu memahami perasaan mereka sendiri. Bantu mereka untuk menganalisis penyebab dan apa yang harus dilakukan dengan emosinya itu. Jelaskan pada mereka bahwa terkadang hal-hal yang terlihat buruk di awal tidak selalu harus berakhir buruk pula. Minta mereka untuk selalu berpikir sebelum bertindak agar tidak menyesal di kemudian hari.
No Comments
Bagaimana penangannya jika menghadapi anak yang sulit diarahkan?