Bullying tak boleh dibiarkan, ini saatnya untuk bertindak!
Baru-baru ini bermunculan berita di media massa maupun media sosial mengenai kasus perundungan (bullying) yang terjadi. Ada mahasiswa ABK yang diolok-olok oleh teman-temannya sendiri di kampus, begitu juga dengan 9 pelajar SMP yang mengeroyok seorang temannya di sebuah pusat perbelanjaan terkenal di Jakarta.
Perundungan memang bukan barang baru. Namun hal ini seakan-akan menjadi sebuah jendela dari kondisi kesehatan jiwa masyarakat, terutama anak-anak di kota besar, yang semakin jauh dari sikap empati dan welas asih. Sudah sepantasnya kita semua turun tangan untuk menghentikan praktek perundungan ini, di manapun juga!
Beda tingkatan, beda bentuk perundungan
Walaupun berita yang sering muncul umumnya tentang perundungan yang dilakukan di tingkat sekolah menengah atau perguruan tinggi, namun jika dicermati sebenarnya tingkah laku ini sudah ada bahkan di tingkat TK. Kasus yang terjadi di TK biasanya tidak terlalu mencolok. Contohnya anak yang bekalnya selalu dimakan temannya karena takut diejek ‘pelit’, atau tidak diajak bermain.
Sementara itu, kasus yang sering terjadi di tingkat sekolah dasar (SD) relatif lebih bervariasi, seperti ejekan karena kondisi fisik (gendut, kurus, keriting, dan lain sebagainya), paksaan untuk memberikan alat-alat tulis. Bisa juga pelaku mengintimidasi dengan cara berteriak, mengancam, atau bahkan dengan memengaruhi siswa lain untuk ikut menjauhi.
Apa yang masuk kategori perundungan?
Suatu tingkah laku dapat dikategorikan perundungan atau bullying apabila memiliki pola tertentu, diulang-ulang, memiliki tujuan (yang disengaja) untuk menyakiti atau membuat tidak nyaman korbannya.
Berdasarkan National Conference of States Legislatures, perundungan adalah tingkah laku yang meliputi pelecehan, intimidasi, ejekan, hinaan dan mentertawakan. Selain itu juga pelaku memiliki kekuasaan, kekuatan atau dominasi yang lebih tinggi dibandingkan korbannya.
Penanganan secara terpadu
Jika perundungan terjadi di sekolah, pihak sekolah memang harus memastikan pelaku mendapatkan sanksi dan hal tersebut tidak akan terjadi lagi. Namun demikian, apabila sekolah belum memiliki program penanganan kasus perundungan, keterlibatan orang tua (keluarga) secara maksimal perlu dipertimbangkan, terutama apabila anak kita yang menjadi korban.
Sayangnya, tidak semua orangtua menyadari ketika anak menjadi korban perundungan. Ketika tahu pun, orangtua lebih memilih melapor pada guru dan berharap pihak sekolah dapat menanganinya. Namun sebagai orangtua, mengapa kita tidak mempersiapkan anak-anak untuk menjaga diri mereka sendiri? Karena tidak selamanya orang dewasa dapat mendampingi mereka.
Tip Agar Terhindar dari Perundungan
Berikut beberapa tips yang dapat dilakukan anak, orangtua maupun guru untuk menghadapi tindakan perundungan:
1. Ajari anak bersikap berani
Anak dengan ciri-ciri karakteristik tertentu, misalnya kurang menarik, obesitas/kegemukan, tidak luwes bergaul, penyendiri, memiliki masalah emosional atau justru sok pintar, sering menjadi korban perundungan. Ajarkan anak-anak untuk terlihat berani (tetapi bukan menantang).
2. Asertif
Hindari mengajarkan anak untuk ‘melawan’ secara verbal atau fisik karena dapat memicu pertengkaran terbuka. Ajarkan ia untuk bersikap asertif, dengan mengatakan langsung pada pelaku bahwa tingkah lakunya buruk dan tidak menyenangkan. Selain itu, ajarkan untuk menatap mata pelaku sebagai ‘perang psikologis’ untuk menunjukkan bahwa ia tak mudah dikuasai.
3. Belajar ‘mengabaikan’
Apabila ejekan yang menjadi masalah, maka ajarkan pada anak untuk mengabaikan pelaku. Bersikap seolah-olah ia tidak mengatakan apa-apa serta tetap melakukan aktivitas seperti biasa. Hal ini akan menjadi ‘pukulan telak’ bagi pelaku karena merasa ‘kekuatan/kekuasaannya’ tidak diakui.
4. Cari bantuan!
Selanjutnya, dukung anak untuk meminta pertolongan, terutama jika pelaku telah menyerang secara fisik, atau merugikan secara sosial. Tanamkan keyakinan pada anak bahwa melaporkan hal tersebut pada orang yang tepat (misalnya orang tua/guru) justru dapat menolongnya.
5. Memanfaatkan waktu kosong
Guru sebagai role model bagi anak dapat menggunakan jam kosong di kelas untuk menjelaskan mengenai perundungan dan bagaimana mengatasinya. Lebih baik jika siswa juga diajak untuk mendiskusikannya.
6. Sediakan waktu untuk anak
Makan malam bersama, atau mengobrol bersama setelah waktu belajar adalah saat yang tepat untuk berbicara dengan anak. Terutama jika kita mencurigai bahwa anak mengalami atau menjadi pelaku perundungan.
Dalam hal ini, mencegah lebih baik daripada mengobati. Anak-anak di jenjang pendidikan TK dan SD ini dapat diarahkan untuk melakukan tindakan pencegahan terhadap perundungan. Anda pun dapat melakukannya di rumah.
Referensi:
- Berguno, G., Leroux, P., McAins, K., Shaikh, S. Children’s Experience of Loneliness at School and its Relation to Bullying and the Quality of Teacher Interventions. The Qualitative Report, 9 (3).2004; 483 – 499. Dari http://www.nova.edu/ssss/QR/QR9-3/berguno.pdf
- Fox, J.A., Elliot, D.S., Kerlikowske, R.G., Newman, S.A., Christeson, W. Bullying Prevention Is Crime Prevention: A report by Fight Crime: Invest In Kids. Fight Crime: Invest In Kids • 2000 P Street NW, Suite 240, Washington, DC 20036. 2003
- Lesperance, L. Being Bullied in Adolescence: A Phenomenologic Study. A thesis in Partial Fulfillment of the Requirements for the Master of Science Degree in Nursing. Departement of Nursing, College of Health Sciences, University of Nevada, Las Vegas. 2003.
- Rivers, I., Duncan, N., Besag, V.E. Bullying: A Handbook for Educator and Parents. Praeger Publishers. 2007.