Minder, mirip anak itik dalam cerita The Ugly Duckling karya Hans Christian Andersen. Namun sebuah proses kehidupan membuat ia ke luar dari cangkangnya dan sukses menjadi psikolog yang terkenal.
Perempuan cantik yang akrab dipanggil Vera ini ternyata ketika masih kecil tomboy dan jahil. Ia senang memanjat pohon jambu dekat rumahnya dan bikin kaget penghuni rumah. “Mama kan punya fobia sama ayam. Tapi saya malah menangkap ayam lalu saya sodorin ke mama yang langsung berteriak. Papa juga pernah jadi korban kejahilan saya, dan saya saat itu nggak terpikirkan bahayanya untuk papa yang sakit jantung,” kenang Vera.
Pentingnya penghayatan diri yang positif
Dahulu, Vera merasa ia berbeda dengan ketiga saudaranya. “Ketiga saudara saya berambut lurus dan badannya berisi, sedangkan saya kribo dan kurus sendiri. Waktu sekolah, mereka semua mendapat peringkat satu di kelasnya masing-masing dan saya hanya peringkat dua. Sedihnya, pas ada keluarga atau teman mama datang ke rumah, mama selalu bilang anak-anaknya peringkat satu semua. Berarti saya kan nggak disebut, tuh,” tutur Vera yang mengaku selalu sembunyi bila ada tamu bertandang ke rumah.
Namun di SMA ia merasa bintang terang mulai bersinar untuknya. “Hasil test IQ saya saat itu menunjukkan superior, wah… dunia langsung gemerlap rasanya. Ternyata saya nggak bodoh, apalagi setelah berhasil meraih nilai ujian tertinggi di sekolah dan diterima di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia melalui jalur undangan (tanpa tes),” ujar ibu dari Franklinazhel Gunawan (7 tahun), dan Benjaminazhel Gunawan (4 tahun). Berdasarkan pengalamannya itu, ia kemudian menulis buku pertamanya tentang psikologi remaja (2015) dengan judul ‘I was An Ugly Duckling, I am A Beautiful Swan’.
Menurutnya, segala sesuatu bisa berubah ketika penghayatan terhadap diri sendiri juga berubah. “Itu saya rasakan banget. Pengalaman itu pula yang membuat saya mantap menjadi psikolog,” kata penyuka warna ungu ini. Meski selepas SMA Vera mendapat beasiswa bidang ekonomi ke Belanda, namun ia tetap menyelesaikan pendidikan S1 Psikologi Klinis di tahun 2000 dan S2 profesi pada tahun 2002 di Universitas Indonesia.
Antara praktek dan mengajar
Jadwal kegiatan yang padat, dijalankan oleh istri Hendri Gunawan ini penuh semangat setiap harinya. “Praktek pribadi, praktek di rumah sakit, mengajar, dan syuting acara TV, semua menyenangkan. Hal yang paling saya sukai adalah praktek dan mengajar,” terangnya.
Menyelami jiwa orang, menceburkan diri dalam masalah orang dan membantu menemukan solusi, menjadi kepuasan tersendiri bagi Vera. Baginya, psikologi klinis dapat mengubah skema orang terhadap dirinya sendiri.
Orang-orang yang memiliki masalah, merasa tidak bisa apa-apa, ia ubah ke dalam perspektif yang lebih positif. “Misalnya anak dengan ADHD
(Attention Deficit Hyperactivity Disorder) yang dibiarkan sejak kecil. Ia bisa mengalami gangguan penghayatan dirinya sampai dewasa,” Vera menjelaskan.
Memilih bidang psikologi klinis, khususnya anak, Vera mengaku terbiasa membaca pola-pola atau gejala pada anak. Setiap diagnosis diwakili oleh serangkaian gejala, dan Vera dapat menangkap gejala tersebut. “Buat saya praktek itu seru. Saya bisa membantu orang supaya bisa harmonis dan sejahtera secara emosional,” tutur penggemar lontong sayur yang aktif mengajar kuliah Psikologi Kognitif untuk S1 dan kuliah Abnormal Patologi pada Anak untuk S2 di Universitas Tarumanegara ini. “Saya senang berbagi ilmu, karena itu saya senang mengajar atau jadi pembicara di mana saya bisa sharing,” katanya.
Pentingnya psikolog anak
Psikolog yang juga ikut memandu acara Curahan Hati Perempuan di Trans TV ini menekankan bahwa kebahagiaan anak adalah tanggung jawab orangtua. Sebelum memiliki anak, orangtua harus siap, juga secara psikologis. “Kehamilan ibarat drama tiga babak yang harus dicermati. Jangan sampai terjadi baby blues dan depresi pasca melahirkan yang berkepanjangan,” terang Vera.
Selama masa kehamilan, saraf pusat akan matang di usia kehamilan 39 minggu. Ganguan tumbuh kembang bisa dideteksi pada tahap awal yaitu saat terjadi refleks bayi menuju jalan lahir. “Bila tidak terlihat adanya refleks ini, bisa dipastikan ada gangguan sensor motor yang merupakan awal dari semua bencana, seperti gangguan perilaku, gangguan belajar, bahkan gangguan saraf,” katanya.
Karena itu, menurut Vera, saat bayi lahir orangtua perlu memeriksakan anak ke dokter spesialis anak dan juga ke psikolog anak. Khususnya yang berhubungan dengan tumbuh kembang agar anak dapat menjalankan proses tumbuh kembangnya secara optimal.