[pullquote]Para junior kembali beraksi, adik dan kakak mulai berseteru. Adu mulut mempertahankan diri, saling mengejek, bahkan membanting pintu karena kesal. Apa yang harus ibu lakukan? Menjadi polisi penengah, atau membiarkannya saja?[/pullquote]
[dropcap]S[/dropcap]emenjak menjadi seorang ibu, tidak ada penjelasan dalam teori ilmu pasti, layaknya matematika 1 + 1 = 2, untuk menghadapi pertengkaran atau persaingan adik dan kakak. Namun perseteruan adik-kakak, nyatanya sering membuat orangtua sakit kepala, terkadang putus asa menghadapinya. Saling berteriak, menangis, mengejek, sering membuat orangtua putus asa dan akhirnya terpancing emosi dan malah membuat pertengkaran itu semakin runcing dan semakin ramai.
Para ayah umumnya menganggap hal ini hanya akan terjadi sementara, karena di lain waktu mereka akan kompak lagi. Begitu juga orang lain yang melihat, biasanya berkomentar, ‘‘Lama-lama juga capek bertengkar, mereka akan diam sendiri…“ Biasanya pertengkaran diawali oleh hal-hal yang sepele, misalnya kakak yang dianggap bersikap tidak adil, adik yang sembarangan saja mengambil barang si kakak tanpa permisi, berebut mainan, ataupun sekadar mencari perhatian ibu.
Banyak ahli yang menyarankan agar orangtua tidak ikut campur dalam perseteruan anak, agar anak bisa menyelesaikan konflik mereka sendiri. Benarkah?
Jika sudah ’main fisik’
Mungkin ada benarnya kita membiarkan pihak yang sedang berselisih untuk menyelesaikan konflilk mereka sendiri. Pertengkaran antara adik-kakak dalam keluarga pada tahap awal tidaklah buruk, malah perseteruan itu bisa menjadi bagian penting dari proses tumbuh kembang anak.
Namun bila diantara mereka sudah mulai melakukan serangan fisik seperti memukul, mencubit, menendang, saat itulah orangtua tidak boleh tinggal diam. Seorang ahli psikologi dari Jerman, Ulrich Gerth, berkata, ‘‘Bila perkelahian adik kakak itu dapat melukai, maka orangtua harus segera memisahkannya. Ajak anak-anak melakukan ’time out’ secara terpisah. Kondisi ini akan membantu anak menenangkan diri dan menurunkan emosi. Pada akhirnya, anak pun menjadi lebih tenang. ‘‘
‘‘Ada apa?‘‘
itu yang sering kita tanyakan pada anak saat mereka bertengkar. Anak pun akan berebutan untuk menjawab. Dalam hal ini kita harus adil dan memberikan kesempatan masing-masing anak untuk berbicara bergantian. Biarkan mereka mengutarakan pendapat masing-masing tanpa dijeda dan dengan cara mereka sendiri. Orangtua adalah fasilitator dalam perseteruan ini, bukan sebagai wasit untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah.
Pada saat yang bersamaan, kesabaran orangtua pun diuji, berusaha mendengarkan dan mengerti perasaan masing-masing anak tanpa menghakimi atau menyalahkan.
Dengarkan dan tataplah mata anak, katakan bahwa masalah diantara mereka akan selesai bila semua pihak saling mengerti dan memahami.
Pertengkaran adik-kakak juga merupakan proses belajar orangtua menjadi lebih sabar dan bijaksana. Anak belajar dari orangtua dalam kesehariannya, yang biasanya tidak disadari oleh orangtua. Kesabaran dan kebijaksanaan orangtua dalam menghadapi konflik bisa menjadi contoh bagi anak untuk bersikap di kemudian hari.
Download artikel lengkapnya di Majalah Anakku Digital :
Tidak memandang sebelah mata
Masalah yang dihadapi oleh anak saat itu merupakan ’masalah besar’ untuk mereka. Jadi, orangtua sebaiknya tidak memandang sebelah mata pada apa yang mereka sampaikan saat diminta penjelasan tentang penyebab kericuhan. Hargai pendapat dan perasaan mereka lalu ajak mereka bersama-sama mencari solusinya.
Anak yang sudah cukup besar (3-5 tahun) biasanya sudah mengerti hubungan aksi-reaksi. Misalnya, jika ia memukul adik maka adiknya bisa balas memukul. Jika ia berbohong, maka orang lain akan sulit mempercayainya. Pemahaman ini penting agar mereka dapat melihat inti permasalahan yang muncul di awal perseteruan tersebut.
Setelah itu, hargai pendapat dan kepercayaan mereka pada Anda. Jika mereka sudah memutuskan apa solusi dari pertikaian yang terjadi, Anda pun harus mengikuti dan mengawasi, jangan mentertawakan sikap atau cara berpikir mereka. Seremeh atau selucu apapun terdengarnya di telinga Anda. Ini membuat anak belajar menghargai keputusan bersama dan percaya dirinya pun meningkat.
Saat anak berproses
Perseteruan adik-kakak yang sering membuat sakit kepala ini ternyata merupakan sebuah proses tumbuh kembang anak yang sering tidak kita sadari. Apa saja yang ’dilatih’ dengan adanya perseteruan ini?
1. Kepercayaan diri
Ketika anak bertengkar mereka belajar berargumen, mengutarakan berbagai alasan dan memperkuat alasannya itu. Dalam hal ini, anak berusaha meyakinkan dan menunjukkan bahwa ia punya alasan yang tepat. Pertengkaran adik-kakak dapat membantunya melatih kepercayaan diri.
2. Kemampuan berkomunikasi
Anak belajar menyampaikan pikirannya melalui kata-kata, memilih kata yang tepat untuk apa yang ia rasakan atau pikirkan agar lawannya mengerti. Ini tentunya mengajari anak untuk bisa berkomunikasi dengan orang lain.
3. Melatih kepekaan
’Mulutmu harimaumu’, sebuah pribahasa yang sering kita dengar. Anak belajar untuk menyadari bahwa orang lain juga punya perasaan. Perseteruan itu mengajari anak untuk melatih kepekaan terhadap apa yang dilihat dan dirasakan orang lain.
4. Pengaturan emosi
Ketika bertengkar, anak pun belajar bagaimana proses dalam tubuhnya bekerja, terutama dalam mengatur emosi yang muncul. Dengan melakukan ’time out’ , anak belajar menenangkan diri dan merenung. Akhirnya, ia lebih mudah berpikir jernih untuk mencari pemecahan masalah.
5. Kompromi
Anak belajar bahwa dalam perseteruan itu ada sebuah kompromi. Pertengkaran yang diawali dengan emosi yang memuncak dapat diakhiri dengan baik saat masing-masing pihak belajar untuk tidak egois. Peran orang tua menjadi fasilitator ‚ilmu baru’ yaitu, dalam setiap konflik akan ada jalan keluarnya.