[quote type=”center”]Lembaga Save the Children melaporkan, setiap tahun ada 13 juta anak dari ibu dengan kehamilan remaja.[/quote]
Kisah Wati
Walau senyum menghiasi wajahnya, rasa nyeri setelah melahirkan tidak bisa menyembunyikan wajah kekanakannya, saat dia datang ke kamar bersalin. Wati (bukan nama sebenarnya) memang baru kelas dua SMP, saat dia melahirkan di kamar mandi rumahnya.
Terlihat jelas sikap betapa belum siapnya perempuan belia ini menghadapi proses melahirkan ini, sementara saya menjahit luka persalinan yang lebih dari ibu biasanya. Rasa yang sama mungkin dialaminya selama 9 bulan masa kehamilannya.
Kisah Sarah
Sementara di belahan dunia lain, Sarah datang ke USG di King’s College Hospital, London, untuk anak pertamanya di usia 16 tahun. Dia berencana untuk memberikan anaknya kepada lembaga adopsi. Hari itu, dia secara khusus meminta saya untuk melihat anaknya saat lahir. “Saya tidak ingin memulai ada ‘ikatan’ batin dengan bayi saya,” katanya tanpa ekspresi. Sudah ada label khusus di rekam medis, menandakan anaknya akan diadopsi.
Kehamilan remaja
Baik Wati maupun Sarah masih terlalu muda untuk hamil secara ‘sehat’. Keduanya tergolong kehamilan remaja, yang didefinisikan sebagai kehamilan pada ibu berumur di bawah 20 tahun (14 – 20 tahun)—tergantung kebijakan masing-masing negara.
Lembaga Save the Children melaporkan, setiap tahun ada 13 juta anak dari ibu dengan kehamilan remaja atau sekitar 11% dari seluruh persalinan di dunia. Angka kehamilan remaja di Indonesia berkisar 55 per 1000 ibu usia 15-19 (UNFPA 2003). Di negara lain berkisar antara 143 (negara Afrika sub-sahara) sampai 2.9 per 1000 (di Korea Selatan). Di negara sub-sahara dan afganistan masih dengan budaya menikah dan memiliki anak pada usia remaja. Efek sosial – ekonomi tentunya bisa diperkirakan, 95% kehamilan remaja terjadi pada kalangan pendapatan menengah kebawah. Pertanyaannya adalah apakah ada efek biologis dari kehamilan dini atau remaja ini.
- Kehamilan di usia 20 tahun, resiko kehamilan tidak lah banyak berbeda dengan kehamilan di usia lebih dari 20 tahun. Namun pada usia 15-19 tahun atau di bawahnya, memiliki keluaran kehamilan yang lebih buruk seperti anemia, kehamilan preterm (sebelum waktunya), dan berat bayi lahir rendah dibanding ibu yang hamil di usia 20-24 tahun.
- Kematian janin pada ibu usia 15-19 tahun 50% lebih tinggi dibanding ibu usia 20-29 tahun. Kematian ibu karena persalinan lebih tinggi 50-100% jika ibu pada usia 15-19 tahun.
- Komplikasi ini mungkin disebabkan kehamilan remaja cenderung mendapat asuhan kehamilan lebih jarang.
- Defisiensi nutrisi karena kebiasaan makan yang buruk, seperti makan snack atau cepat saji, yang biasa dilakukan di masa remaja. Walau kehamilan remaja adalah 11% dari seluruh persalinan, namun merupakan penyebab 23% dari angka kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas) karena persalinan. Sekitar 2,5 juta ibu remaja menjalani aborsi tidak aman.
- Komplikasi lain adalah belum berkembangnya tulang pelvis yang yang bisa mengganggu proses persalinan. Bila ini terjadi di daerah yang belum ada fasilitas bedah sesar, tentu komplikasi lainnya akan terjadi (seperti fistula atau kematian janin) karena kemacetan persalinan. Sekitar 65% fistula atau komplikasi seperti ini terjadi pada kehamilan remaja.
- Komplikasi lainnya adalah lebih tinggi angka komplikasi preeklampsia (tekanan darah tinggi pada kehamilan), infeksi dan perdarahan pada ibu dengan kehamilan remaja.
Masalah psikososial
Dari segi sosial, penelitian menyebutkan ibu dengan kehamilan remaja, 10-14%-nya tidak menyelesaikan pendidikan sekunder. Dan kemudian 14-29%nya mendapat sekolah sekunder susulan. Seperempat dari ibu kehamilan remaja akan mempunyai anak kedua dalam 24 bulan dari kehamilan pertamanya.
- Kehamilan remaja mempengaruhi perkembangan psikososial dari anak. Insiden dari kelainan perkembangan dan perilaku meningkat pada anak dari ibu dengan kehamilan remaja.
- Ibu dengan kehamilan remaja, lebih jarang menstimulasi anaknya dengan perilaku seperti membelai, tersenyum dan komunikasi verbal lainnya yang menerima dan sensitif terhadap kebutuhan anak.
- Kemampuan akademik, seperti lulus dari sekolah sekunder, lebih rendah pada anak dari ibu dengan kehamilan remaja. Anak perempuan dari ibu kehamilan remaja lebih mempunyai resiko untuk kehamilan remaja.
Apa penyebabnya?
Pada beberapa komunitas atau masyarakat tradisional, termasuk di Indonesia, menikah muda adalah pemicu untuk kehamilan remaja.
- Pada negara-negara Afrika sub-sahara, kehamilan remaja merupakan hal yang diharapkan sebagai bukti kesuburan dari sang wanita.
- Kurangnya pendidikan seks atau keterbukaan bisa menjadi sebab. Banyak remaja atau wanita usia muda tidak bisa menolak untuk hubungan seksual. Bagaimana atau berani berkata ‘tidak’ bisa diajarkan sejak dini.
- Walau belum ada studi di sini, Studi Kaiser Family Foundation menyebutkan 29% remaja merasa ‘tertekan’ sehingga melakukan hubungan seksual, 24% merasa bukan sesuatu yang diinginkan. Sebab lain, seperti bisa ditebak, adalah pengaruh alkohol dan obat-obatan.
Sedia ‘payung’
Singkat kata, kehamilan remaja berefek banyak, bukan hanya menyangkut ibu dan anak yang dilahirkan. Apa yang bisa dilakukan? Pencegahan adalah langkah terbaik.
Turunnya angka persalinan secara umum belakangan ini juga menurunkan kehamilan pada remaja. Program pendidikan seksual masih menjadi kontroversi, apakah akan menurunkan angka kehamilan remaja. Tetapi yang jelas, usia remaja membutuhkan informasi pendidikan seksual dan kontrasepsi. Ada banyak acara TV atau film berkisar kehamilan remaja seperti ‘Gilmore Girls’, film drama Jepang ’14-sai no Haha, Aisuru tame ni Umaretekita’, acara reality show oleh MTV ‘16 and Pregnant’ dan Teen Mom.’ Acara seperti ini bisa dipakai untuk menambah wawasan bagaimana kehamilan ini berpengaruh pada kehidupan serta bagaimana menyikapinya.
Lebih baik melakukan gerakan ‘absentinence-only’ pada remaja, walau belum begitu popular untuk masyarakat Indonesia. Kekhawatirannya hampir sama seperti pendidikan seksual, apakah akan memicu lebih jauh. Seperti studi dari Columbia Univ. di Amerika, 88% remaja yang mengikuti gerakan ini tetap saja melakukan hubungan seksual pranikah. Lini kedua adalah kontrasepsi. Pengetahuan kontrasepsi dan wawasan efek kehamilan dini bisa mengurangi kemungkinan kehamilan remaja.
Hal yang penting juga adalah usaha pendampingan dari ibu dengan kehamilan remaja. Di Indonesia, belum ada lembaga yang secara konsisten dalam usaha ini. Pendampingan akan memberikan kemungkinan lebih besar ibu dengan kehamilan remaja menjalanin kehamilan dan persalinan lebih sehat.
Upaya seperti pengetahuan nutrisi, asuhan persalinan, kontrasepsi setelah kehamilan, upaya pengasuhan anak, pendidikan sekunder yang memungkinkan untuk ibu dengan kehamilan remaja.