Tahun ajaran baru bagi anak adalah pengalaman baru. Bagaimana jika anak merasa tak nyaman dengan suasana ini? “Aku enggak mau sekolah. Kepalaku pusing, perutku sakit.” Suatu hari buah hati anda ‘mogok’ sekolah. Pagi-pagi Rafli tidak beranjak dari tempat tidurnya, ketika anda membuka pintu kamarnya, bocah kelas 1 SD ini memejamkan mata—pura-pura tidur. Ini sudah terjadi dua kali, padahal belum seminggu Rafli masuk sekolah. Dua hari lalu beralasan sakit perut, dan alasan itu kelihatan begitu meyakinkan karena ia meringis sambil memegangi perutnya.
Hal sama rupanya juga dialami Vito, bocah kelas 3 SD ini bahkan sampai muntah. Vito sering mengeluh sakit perut, dokter yang memeriksa tak menemukan penyakitnya. Selama ini bocah berusia 8 tahun ini adalah siswa yang pandai, selain berprestasi di pelajaran, ia juga memiliki seabrek kegiatan, seperti les piano, les bahasa Inggeris, dan taekwondo.
Keluhan sakit perut yang dialami Vito, membuat orangtuanya khawatir, lalu membawanya ke psikiater anak. Ternyata, bocah kecil ini mengalami stres, yang dimanifestasikan dengan berbagai keluhan fisik, salah satunya sakit perut. Dokter menyarankan agar orangtua Vito menjadwal ulang kegiatan sang putra, agar ada waktu untuk bermain dan rileks. Benar! Dalam beberapa bulan kemudian, penyakit perut Vito berangsur membaik.
Suasana baru undang stres
Suatu perubahan, pengalaman atau suasana baru seringkali menyebabkan seorang anak stress. Salah satunya adalah ketika ia masuk sekolah. Mereka berhadapan dengan segala hal yang serba baru; teman baru, guru baru, ditambah lagi pelajaran baru.
Reaksi anak menghadapi suasana baru bisa bermacam-macam;
- Berupa keluhan fisik (sakit perut, keringat dingin, sakit kepala).
- Bereaksi dengan menangis, menjadi agresif, suka membantah, atau bersifat sensitif.
- Beberapa anak berubah menjadi pencemas, penakut atau mudah panik.
Tak jarang stres juga memicu munculnya gangguan kesehatan seperti; asma, demam, migren, gangguan perut seperti kolitis, irritable bowel syndrom (IBS) dan keluhan lambung (ulkus lambung).
Keluhan fisik
Kadang-kadang anak mengeluh sakit namun orangtua tidak dapat menemukan apa penyakitnya. Mungkin inilah yang disebut sebagai gejala psikosomatis (somatoform disorder), yang akan memunculkan berbagai gangguan fisik.—salah satunya seperti contoh di atas.
Penyebab Somatoform disorder bermacam-macam, yang pasti itu terjadi sebagai refleksi stres dalam menghadapi suasana baru, tuntutan sekolah, berpisah dari orangtua (meski hanya saat bersekolah). Stres dapat menyebabkan gangguan baik langsung berefek pada tubuh maupun pikiran, memunculkan berbagai gangguan sehingga anak menjadi sakit.
Apa gejala Somatoform Disorder?
- Sakit kepala
- Sakit perut (abdominal distress)
- Hilang keseimbangan, juling.
- Sakit punggung
- Kelelahan (fatique)
- Sakit otot
- Masalah dalam pelajaran, menolak bersekolah, menarik diri dari pergaulan, kecemasan dan masalah dalam berperilaku kadang-kadang menyertai Somatoform disorder.
Somatoform disorder harus dibedakan menjadi dua; Malingering disorder dan Factitious disorder, yang mana keduanya dibedakan atas sengaja atau tidak disengaja.
Apa yang dapat dilakukan orangtua?
- Terlebih dahulu orangtua instropeksi diri, apakah selama ini mereka sudah mampu mengelola stres mereka dengan baik. Penelitian menunjukkan orangtua yang memiliki pengalaman traumatik seperti gempa atau perang, akan menularkan stresnya kepada anak.
- Begitu juga dalam kehidupan perkawinan, bagaimana hubungan dan komunikasi anda dan pasangan, apakah berjalan baik?
- Menjaga berkomunikasi dengan baik. Buka keran komunikasi sebesar-besarnya dengan anak. Anak-anak merasa nyaman jika orangtua mau mendengarkan mereka.
- Jangan paksakan anak dengan berbagai kegiatan. Buatlah jadwal agar mereka dapat tidur cukup, bermain, dan melakukan aktivitas lain yang menyenangkan.
- Anak membutuhkan bantuan, antara lain terapi perilaku kognitif, relaksasi, dan teknik biofeedback, bahkan jika perlu obat-obatan.
- Bagaimanapun, gangguan yang dialami anak yang membuatnya begitu ‘tersiksa’ saat bersekolah memerlukan pertolongan, dan sebagai orangtua anda mesti mewaspadainya. Agar tidak berlanjut, konsultasikan dengan ahli.
Referensi
- Behrman, RE, Kliegman, R & Jenson, HB (Eds.). Nelson Textbook of Pediatrics (16th ed.). Philadelphia: W.B. Saunders & Co. 2000
- C.A. Kearney & A.M Albano: When Children Refuse School: A Cognitive-Behavioral Therapy Approach. The Psychological Corporation, 2000
- Melvin D. Oatis M.D.: About Psychosomatic Illness. NYU Child Study. 2000
- Sabine Hack, MD. Stress in Children: What It Is, How Parents Can Help. NYU Child Study. 2000
No Comments
anak saya berusia 4 th 4 bln, sekolah di TK A.
sudah 2 mg ini dia tidak mau sekolah dg alasan ber-macam2 : sakit perut, takut ditinggalin, mau main di rumah saja.
anaknya agak susah beradaptasi dg tmn2 baru/guru2 baru, krn tmn2 sekelasnya skrg sudah di-campur2, jd tidak persis sama sewaktu di KB dulu.
saya sudah sering menjelaskan, bahwa sekolah itu banyak teman, bs bermain, belajar jg.
tp dia tetap menolak dan menangis.
apa yg hrs saya lakukan?
terima kasih
Hi bu Henny,
Salam kenal yaa…
anakku dulu percobaan PG malah cuma seminggu.
Setelah aku amati dan aku tanyai anaknya, dia bilang kalau dia bosen di sekolah terus waktu di bus sekolah, ada anak yg becandain dia, dan dia gak suka.
Jadi kalau dari pengalaman anakku, dia gak suka sekolah disitu, karena dia merasa gak nyaman.
Aku gak maksain sih bu, sambil terus aku cari cari sekolah TK yang sesuai untuk tahun depan. kebetulan udah nemu TK yang dia mau. Mudah-mudahan tahun depan dia beneran dah mau sekolah 🙂
Jadi kalau boleh sharing pendapat, buat aku mengenai sekolah anak adalah biar anaknya yang pilih sekolah mana yang dia merasa nyaman buat belajar disana, karena sekolah kan buat anak, bukan buat kita ortunya 🙂
tetap semangat ya bu.