Belakangan musik anak hampir nyaris tak terdengar. Bagaimana perjalanan musik anak Indonesia yang sebenarnya sudah ada sejak lama hingga kini meredup?
Sebuah analogi menarik mengatakan bahwa musik ibarat asupan bergizi untuk anak. Bila makanan berguna untuk membuat tubuh anak agar sehat demikian pula dengan musik yang dapat menumbuhkan preferensi anak akan suatu nilai. Dari segi kandungan, jika makanan terbaik anak mengandung nutrisi yang baik bagi pertumbuhan anak, maka musik yang sehat bagi anak adalah yang liriknya sarat nilai, sederhana dan mudah dipahami oleh anak sesuai usianya.
Awal geliat musik anak
Sekelumit kisah tentang perjalanan musik anak Indonesia diceritakan Karina Adistiana dan Ribut Cahyono selaku founder Gerakan Peduli Musik Anak pada Anakku Media. Terkait definisi musik anak, mereka menyebutkan lebih menyukai istilah “musik ramah anak”.
Cikal perkembangan musik anak di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak tahun 60-an. Saat itu tak ada segmentasi lagu anak, karena lagu-lagunya pun dinyanyikan oleh orang dewasa. Misalnya lagu “Pergi ke Bulan” yang dipopulerkan oleh Tetty Kadi atau “Gang Kelinci” yang diciptakan oleh Titiek Puspa dan sukses dinyanyikan Lilis Suryani.
Geliat perkembangan musik anak terus bergulir seiring kemunculan para penyanyi cilik seperti Chicha Koeswoyo dengan “Helli”, Adi Bing Slamet, dan Yoan Tanamal yang pada ’70-an hadir dengan image yang berbeda. Industri musik anak semakin menemukan arahnya dengan kemunculan Koes Bersaudara yang menyandingkan nama Chica dan Adi dalam sebuah duet.
Tak jauh dari itu, Ira Maya Sopha menawarkan pilihan bermusik yang berbeda dengan mengkolaborasikan sandiwara radio dengan kaset drama musikal yang digemari anak-anak pada saat itu. Beberapa album dan dongeng yang populer diantaranya adalah Putri Cinderella (1978), Anak Tiri (1979), atau Pinokio (1979). Pada era ini industri musik berusaha mencari bentuk dengan menggandeng institusi riset untuk memasukkan unsur pendidikan ke dalam musik itu sendiri.
Musik anak di Indonesia kemudian masuk ke masa 90’an. Di zaman ini, musik anak lebih menekankan pada artis anak. Nama baru bermunculan seperti Enno Lerian, Agnes Monica, Eza Yayang, Maissy, Chiquita Meidy, Trio Kwek-kwek, dan Joshua Suherman. Warna musik anak pada era itu lebih tertuju pada selera pasar yang terfokus pada musik pop.
Perlahan raib
Era millennium dalam perkembangan Musik Anak Indonesia ditandai dengan kemunculan sosok Sherina dan Tasya. Tasya sendiri saat itu dikontrak oleh Sony Wonder dibawah Sony International yang baru masuk Indonesia. Label Sony Wonder khusus menangani lagu anak. Setelah lagu-lagu Tasya, lagu-lagu anak pun secara perlahan mulai tenggelam.
Polemik pun mencuat terkait musik anak di lingkungan industri musik. Banyak pihak yang beranggapan bahwa elemen daya beli pasar yang menjadi alasan menghilangnya lagu-lagu anak. Dalam hal ini Karina menjelaskan bahwa orangtua berperan dalam memilihkan lagu untuk anak. Selama ini banyak orangtua yang tidak terlalu focus untuk mencarikan lagu bagi anak-anaknya. Mereka membiarkan anak menikmati lagu yang tak ramah dan menjauhkan
anak dari kehidupan sesuai usianya. Menyingkapi permalahan ini Peduli Musik Anak menghimbau agar para orangtua dan pemerhati anak untuk lebih selektif dalam memilihkan lagu untuk anak-anak.
Oleh: Shelvy Dwi Citra
Foto: Yuan Atmojo
Stylist: Rilly Rosera