Seorang teman yang begitu terkesan dengan keindahan gugusan pantai di kaki pulau Sulawesi ini pernah berkata dengan nada hiperbola, “Kalau berenang dan mati di sini, bisa langsung pergi ke surga.”
Pantai Bira dapat ditempuh melalui perjalanan darat dari kota Makassar selama kurang lebih 4 jam. Di sepanjang perjalanan, mata akan dihibur oleh permainya daerah pesisir. Persis di sisi jalan poros menuju Bira, hamparan ladang garam di daerah Jeneponto dan jajaran perahu nelayan di bibir pantai kota Bantaeng, terlihat berpendar indah kala diterpa cahaya keemasan sore hari.
Terkenal akan pasir putihnya
Pantai yang terletak di kabupaten Bulukumba ini terlihat lebih marak oleh para pelancong. Terkenang di akhir tahun 80-an pada kunjungan pertama saya, pantai ini begitu hening dan bersih, hanya suara angin dan pasir yang berbisik.
Yang tak berubah adalah tekstur pasirnya yang begitu halus dan lembut bagaikan tepung dan putih, berkilau hingga menyilaukan mata saat diterpa mentari siang hari. Sementara di sisinya air laut memancarkan warna hijau zamrud yang memabukkan, hingga ingin segera menikmati kehangatannya.
Banyak tersedia penyewaan perahu bermotor untuk mengantarkan kita menikmati gugusan pulau-pulau kecil nan indah di seberang lautan. Beberapa pulau cantik itu terhitung dekat dan terdapat kawasan penangkaran penyu yang bisa kita kunjungi, bahkan berenang dan berpose bersama mahluk panjang usia tersebut di antara beningnya laut biru kehijauan.
Obsesi para penggemar selam
Sayang, kunjungan singkat saya tak memungkinkan untuk mengunjungi pulau Selayar yang bisa ditempuh selama dua jam menggunakan kapal cepat melalui pelabuhan penyeberangan yang berada di Bira. Gugusan kepulauan Takabonerate di Selayar menjadi obsesi para turis, terutama bagi penggemar selam yang ingin mengeksplorasi atol ketiga terbesar di dunia yang terkenal dengan kekayaan biota lautnya itu.
Masih bersebelahan dengan pantai Bira, terdapat perkampungan yang memiliki pantai super indah dan luas di balik dinding-dinding karang terjal yaitu Panrang Luhu. Saya hanya bisa tertegun mengagumi dan menatap hamparan pantai pasir putih yang panjang dan luas berbatas langit biru dan cumbuan riak ombak yang tenang menghijau.
Kampung pembuat kapal Phinisi
Menyusuri garis pantai sambil meninggalkan jejak langkah di pasir, langkah saya mengarah perkampungan pembuat perahu Phinisi yang tersohor sejak berabad abad lamanya, yaitu Desa Tana Beru yang terselip di antara lambaian pohon nyiur menghijau.
Jangan pernah melewatkan tempat ini bila berkunjung ke kawasan Bira, sambil berteduh dan menikmati semilir angin laut, saya melihat dan menjadi saksi bagaimana trampilnya pewaris keahlian yang terhitung sulit dan canggih ini menyusun rangka dan bilah demi bilah kayu untuk bisa mengarungi samudera raya hingga ke mancanegara.
Tanpa rancangan gambar, tanpa besi paku dan baja, dan tanpa lelah mengerjakan pesanan perahu Phinisi oleh bangsa sendiri maupun bangsa asing yang sudah mengakui ketangguhan dan keindahannya.
Masyarakat penjaga adat
Kunjungan saya kali ini setelah bertahun-tahun meninggalkan kota Makassar menjadi keberuntungan tersendiri. Berbekal jiwa avonturir serta didampingi oleh tour guide lokal, kami pun dapat mengunjungi perkampungan suku Kajang. Bertamu ke rumah adat kepala suku dan masyarakat yang dikenal sangat mempertahankan kemurnian adat dan komunitasnya dalam menghadapi moderenisasi.
Kami pun menginap di pantai nelayan Samboang untuk menikmati suasana terbitnya mentari pagi yang hangat dan romantis. Menyaksikan pagi yang bening bersama nelayan yang sibuk membenahi rangkaian jala di perahu selepas melaut di malam hari.
Janji untuk kembali sudah terucapkan, hingga kepala pun masih menengok ke belakang saat meninggalkan semua pesona yang baru saja memuaskan hati dan jiwa saya. Sampai jumpa, Pantai Bira…