[pullquote]Cinta akan warisan budaya bangsa membuat perempuan hebat ini berupaya menuangkan kreativitasnya agar citra kain tenun Toraja serta para penenunnya tetap lestari.[/pullquote]
[dropcap]S[/dropcap]iapa yang meragukan keindahan lembar-lembar kain tenun Toraja? Sayangnya seiring berjalannya waktu, alat tenun tradisional sudah mulai ditinggalkan. Tak banyak tenun Toraja dijumpai. Hanya pada ritual keagamaan dan acara adat saja kain tersebut bisa ditemukan. Pemandangan miris ini disaksikan oleh Diana Irina Jusuf atau lebih akrab disapa Dinny Jusuf saat menemani sang suami mudik ke tanah kelahirannya. Dari sinilah awal Dinny jatuh cinta dengan tenun Toraja.
Berbagai ide berseliweran di benaknya mana kala mendapati bahwa penenun kain tradisional ini kian langka dijumpai. Baginya bukan sekadar bagaimana membuat tenun Toraja yang merupakan warisan leluhur ini bisa terus eksis dan tidak punah. Namun juga berupaya membangkitkan kreativitas para wanita penenun agar bisa mandiri.
“Semua butuh proses dan perjuangan. Awalnya saya berusaha melakukan pendekatan dengan para penenun. Saya sarankan agar mereka tidak menenun secara perorangan namun melakukan kegiatan ini secara berkelompok agar bisa bertukar ilmu,” ungkap wanita kelahiran 17 April 1956 ini.
Tidak hanya itu, Dinny juga membutuhkan waktu sekitar 6 bulan ketika harus meyakinkan para penenun untuk beralih bahan dari benang polyster menjadi benang katun. “Para penenun awalnya kesulitan untuk menenun dengan benang katun karena mudah patah patah. Benang katun didatangkan dari Jakarta karena di Toraja jenis benang ini sukar didapati,” tegasnya.
Begitupun juga dengan pemilihan warna. Menurut wanita yang pernah menjabat sebagai Sekjen Komnas Perempuan dan konsultan sebuah bank ini, para penenun disana terbiasa menggunakan warna merah, kuning, hitam, dan putih sehingga mereka sempat menolak ketika disarankan untuk menggunakan warna-warna yang tengah digandrungi selera pasar.
Namun kerja keras dan tekad Dinny membuahkan hasil. Tenun Toraja kembali berkibar. Kini Tenun Toraja dengan beragam motif seperti Paruki, Parramba, Pamiring dan lainnya telah banyak dihasilkan para penenun. Tenun-tenun Toraja selanjutnya dikirim ke beberapa kota seperti Jakarta, Bandung, dan Jawa Tengah, untuk kemudian dijadikan beragam produk fashion dan gift. Para penjahit yang tergabung dalam organisasi Pekka (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga) yang mengolah tenun Toraja menjadi beragam produk fashion dan gift seperti busana, tas, sepatu, aksesoris, frame hingga kantong HP.
Usaha Dinny dalam mengharumkan tenun Toraja tak hanya berhenti sampai disana. Ia juga membangun usaha untuk memasarkan produk-produk tersebut yang dinamai Toraja Melo dimana disana ia bertindak sebagai CEO. “Bidang ini telah dimulai sejak tahun 2008 namun social enterprised Toraja Melo secara resmi dimulai dari 2010 hingga sekarang,” ungkapnya. Pemasaran produk mencakup Jakarta sebagai tujuan belanja terbesar, juga Bali dan Jepang. Sedang wilayah kerja untuk 1000 penenun ini telah meluas tidak hanya di Toraja (Sulawesi Tengah) namun juga ke Mamasa (Sulawesi Barat) hingga Adonara & Lambata (kepulauan Flores Timur).