[pullquote]Fisiknya sudah seperti orang dewasa, namun cara berpikir mereka masih butuh banyak arahan dan bimbingan dari orangtua.[/pullquote]
ABG (anak baru gede). Begitu biasa kita sebut anak-anak usia praremaja dan remaja. Secara fisik, perawakannya sudah mulai menyerupai orang dewasa. Bahkan secara kognitif, anak remaja sudah dapat berpikir lebih kompleks, bahkan bisa ikut berdiskusi tentang politik dengan ayah, misalnya. Secara sosial, wah… sudah mulai menaruh hati pada lawan jenis, dia! Ya, masa remaja adalah salah satu masa terpenting dalam hidup anak, sekaligus juga masa paling menantang bagi orangtua.
Pertumbuhan sangat pesat
Remaja merupakan masa yang menjembatani usia anak menuju usia dewasa. Usia remaja ditandai dengan pertumbuhan fisik, yang salah satunya dipengaruhi oleh berkembangnya hormon seksual. Pertumbuhan fisik terjadi begitu pesat, meliputi tinggi dan berat badan, munculnya jerawat atau kulit yang berminyak, bau badan, tumbuhnya rambut, dan penampilan keseluruhan yang kadang sudah mirip orang dewasa.
Pertumbuhan ini tentu berpengaruh terhadap perkembangan psikologis dan interaksi sosialnya. Banyak remaja menjadi lebih peduli dengan penampilan. Semakin mampu mengikuti tren, rasa percaya diri pun semakin meningkat. Penampilan ini tidak hanya berkaitan dengan yang digunakan saja, tapi juga termasuk cara berjalan atau berbicara. Ibaratnya, remaja memiliki imaginary audience yang selalu memperhatikan gaya mereka.
Pertumbuhan fisik juga membuat remaja menjadi super perhatian terhadap diri dan body image-nya. Lelaki umumnya ingin memiliki tubuh yang atletis dan macho, layaknya olahragawan atau musisi idola mereka. Sementara perempuan biasanya ingin berpenampilan ala artis atau model ternama, yang memiliki tubuh langsing. Obsesi yang berlebihan terhadap bentuk tubuh ideal bahkan bisa mendorong munculnya gangguan makan, seperti Anoreksia dan Bulimia.
Berpikir abstrak
Menurut Jean Piaget, tokoh yang menelurkan Tahap Perkembangan Kognitif, pada usia remaja, dimulai dari umur 12 tahun, anak sudah masuk ke dalam tahap Formal Operational. Di tahap ini, anak sudah mulai bisa memahami kajian ilmiah, masalah yang kompleks dan abstrak, melakukan prediksi, dan telah bisa melakukan perencanaan jangka pendek maupun jangka panjang.
Perkembangan kognitif inilah yang juga membuat anak di usia remaja sudah lebih kritis dalam menyikapi berbagai hal yang terjadi di sekitarnya. Beberapa bahkan cenderung rebel dan tidak mau ‘didikte’. Melalui informasi yang mereka serap, remaja juga mulai memahami berbagai pemikiran tokoh-tokoh yang ada di dunia. Jangan heran bila suatu ketika mereka bisa fasih menuturkan berbagai topik ‘berat’ dengan istilah dan kalimat yang cukup rumit.
Akses remaja untuk mengetahui berbagai nilai dan prinsip yang ada di dunia juga kini semakin terbuka. Karena itu, kita sebagai orangtua sebaiknya mengontrol dan membimbing anak agar mendapat informasi yang benar. Secara fisik dan pikiran, remaja bukan lagi anak-anak, tetapi juga belum cukup matang dan dewasa untuk mengambil keputusan yang bijak. Karena itu, pendampingan orangtua sangat dibutuhkan, agar nilai-nilai dan prinsip yang kita ingin mereka anut pun bisa diterima dengan baik.
Mencari identitas
Di masa remaja, anak masih belajar mengontrol emosi, sehingga dapat dikatakan bahwa di masa ini mereka sangat labil. Energi mereka pun sangat tinggi, seperti tak bisa diam. Beri mereka ruang dan waktu untuk berkreasi, maka kita akan menemukan begitu banyak ide baru yang segar dan kreatif, yang bila dibimbing secara tepat dapat menghasilkan karya yang luar biasa.
Erik Erikson, tokoh yang menelurkan teori mengenai Tahap Psikososial, mengatakan bahwa di usia remaja, individu akan berusaha mencari identitas dirinya. Mereka ingin memiliki eksistensi di tengah teman-temannya. Hal ini membuat anak menjadi bersemangat bila mendapat kesempatan untuk mengeskpresikan diri.
Namun, di lain sisi, penerimaan oleh lingkungan sosial juga penting. Menjadi bagian dari sebuah kelompok adalah salah satu tujuan utama mereka. Karenanya, apabila mengalami kesulitan dalam bergaul, mereka bisa merasa tertekan, dan ini dapat memengaruhi konsep diri secara keseluruhan.
Parents ‘911’
Membimbing remaja menghadapi berbagai tantangan yang sesuai usianya membutuhkan kemampuan parenting yang positif. Berikut beberapa hal utama yang harus diperhatikan:
- Komunikasi terbuka. Bila anak terbuka, kita dapat memahami pola pikir mereka dengan lebih jelas dan mereka pun memahami nilai apa yang ingin ditanamkan. Selain itu, komunikasi terbuka juga mempermudah kita mengoreksi anak jika mereka melakukan kesalahan.
- Anak beranjak dewasa, bukan berarti penerapan disiplin dan aturan malah ditinggalkan. Hal tersebut justru dapat membantu mereka meningkatkan kemampuan kontrol diri. Namun, sebaiknya batasan disampaikan secara jelas, dengan mempertimbangkan pemikiran anak juga.
- Anak belajar dengan cara memperhatikan orangtua dan orang dewasa lainnya. Karena itu, orangtua yang memperlihatkan perilaku positif akan menjadi role model bagi anak.
- Apabila anak merasa aturan berubah secara konstan, anak akan mudah bingung. Karenanya, dalam berbagai situasi, orang tua sebaiknya konsisten dan menerapkan standar yang sama.
Kata Mereka
Lily Maryati, Guru
“Mendidik anak di usia remaja tidak semudah teorinya, terutama karena tiap anak punya karakter yang berbeda-beda. Pelajaran utama yang didapat dari anak laki-laki sulung saya, yang saat ini sudah kelas 8, adalah saya tidak dapat meletakkan harapan (expectation) pribadi saya kepada anak. Bila kita memaksakan kehendak, anak bisa merasa tertekan dan tidak lagi terbuka. Karenanya, sering kali kita, orangtua, harus dapat melihat masalah dari sudut pandang seorang remaja.”
Herlinda Hutauruk, Pebisnis
“Dari ketiga putri saya, dua orang sudah masuk usia remaja dan duduk di kelas 8 dan 10. Saya banyak belajar dari fungsi saya sebagai orangtua. Saya harus bisa masuk ke lingkungan pergaulan remaja dan mencoba memahami karakter mereka. Mulai dari gaya bahasa, style dalam memilih baju, sampai musisi favorit mereka. Saya mencoba menempatkan diri sebagai pemimpin saat sedang mengajar dan membimbing mereka, tapi sekaligus sebagai teman dan sahabat saat keduanya memilih saya sebagai teman sharing mereka.”