[pullquote]Mungkin kita ingat di masa kita kecil, susu adalah salah satu sumber nutrisi yang ‘wajib’ diminum setiap hari sebelum sekolah. Dengan berbagai informasi di berbagai media, kita pun semakin yakin dengan manfaatnya. Lalu, bagaimana untuk orang dewasa, masih pentingkah kita minum susu tiap hari?[/pullquote]
[dropcap]H[/dropcap]ingga kini, susu masih dianggap sebagai minuman yang menyehatkan. Namun tentunya dengan perkembangan teknologi, dan setelah dilakukan berbagai penelitian oleh para ahli nutrisi, ditemukan beberapa fakta baru mengenai susu dan kebiasaan minum susu. Memperingati Hari Susu Nasional pada tanggal 2 Oktober, mari kita update kembali pengetahuan kita tentang susu dan kandungannya.
Memperkuat tulang
“Susu mengandung satu paket nutrisi yang penting, khususnya untuk kesehatan tulang,” ujar Connie M. Weaver, PhD, Kepala Bagian Nutrisi di Perdue Universtity, Amerika Serikat. Popularitas susu sebagai minuman kesehatan sebagian besar berdasarkan fakta bahwa susu mengandung protein susu, kalsium, vitamin K, strontium, potasium, magnesium, vitamin C dan vitamin D (khususnya susu yang telah difortifikasi atau diperkaya).
Informasi yang lama kita ketahui adalah bahwa kalsium dan vitamin D sangat penting untuk menjaga agar terhindar dari osteoporosis. Namun pada kenyataannya, kedua zat itu saja tak cukup untuk menghindarkan kita dari osteoporosis. Selain aktivitas fisik rutin, tidak merokok, menjaga pola makan yang rendah sodium dan tinggi potasium juga berperan penting dalam menjaga kesehatan tulang.
Dalam sebuah penelitian ditemukan bahwa protein hewani (seperti yang dikandung dalam susu) dapat meningkatkan keasaam darah dan membuat tubuh mengambil cadangan kalsium dari tulang untuk menetralisirnya. Bukankah ironis jika pada akhirnya, minum susu justru mengurangi kandungan kalsium tulang dan bukan sebaliknya?
Itu sebabnya Harvard School of Public Health (HSPH) mengeluarkan Healthy Eating Pyramid yang sedikit berbeda dengan The Food Guide Pyramid yang dirilis oleh Lembaga Agrikultur Amerika Serikat (USDA) dua dekade sebelumnya. Menurut HSPH, pembatasan masukan nutrisi dari susu maupun turunannya menjadi 1-2 kali sehari karena orang dewasa sebenarnya tidak membutuhkan kalsium sebanyak yang terkandung dalam tiga gelas susu perhari seperti yang dianjurkan oleh USDA selama ini.
Selain itu, ada beberapa risk factors yang ditakutkan akan muncul jika terlalu banyak mengonsumsi susu melebihi takaran tersebut. Mari kita teliti lebih lanjut.
Makanan otot
Dalam hal pembentukan otot, susu masih menjadi ‘makanan otot’ nomor satu di dunia. Susu sapi mengandung protein yang mendukung pertumbuhan dan perbaikan otot. Protein dalam susu terdiri dari 20% whey dan 80% kasein. Keduanya merupakan protein berkualitas tinggi. Whey merupakan fast protein yang cepat diserap dalam darah, sedangkan kasein merupakan low protein yang bagus untuk menjaga asupan nutrisi jangka panjang.
Menurut media Today’s Dietetitian, analisis terbaru pada 20 percobaan klinis menunjukkan bahwa minum susu lebih banyak ketika melakukan latihan ketahanan fisik dapat meningkatkan massa otot pada orang dewasa. Menjaga massa otot yang ideal ini penting untuk mendukung metabolisme dan menjaga berat badan tidak berlebih.
Menjaga tekanan darah
Potasium adalah zat yang bertanggung jawab akan hal ini. Meningkatnya kadar potasium dalam darah, sejalan dengan menurunnya kadar sodium (garam), adalah diet paling berhasil untuk menurunkan tekanan darah dan menjauhkan kita dari penyakit kardiovaskular.
Dalam sebuah penelitian ditemukan bahwa mereka yang mengonsumsi potasium sebesar lebih dari 4.000 mg per hari mengalami penurunan risiko terkena penyakit jantung iskemik sebesar 49% dibandingkan mereka yang mengonsumsi potasium di bawah 1.000 mg per hari. Sayangnya, dalam kondisi normal, hanya 2% orang yang berada dalam kelompok pertama.
Jika berniat untuk mengonsumsi susu lebih banyak karena ingin meningkatkan kandungan potasium dalam darah, sebaiknya pertimbangkan kembali niat Anda. Ingat, susu juga mengandung saturated fat (lemak jenuh) dan kolesterol yang justru dapat membahayakan kerja jantung. Sebaiknya carilah sumber potasium lain seperti ubi, saus tomat, jus wortel, pisang, bayam, jus jeruk dan lain sebagainya. Serta kurangi garam dalam menu makanan Anda.
Meningkatkan risiko kanker?
Minum susu memang dapat menyehatkan, namun menurut Walter Willett, MD, PhD., profesor di bidang epidemiologi dan Kepala Departemen Nutrisi di HSPH, masyarakat juga perlu tahu bahwa mereka tidak harus minum susu agar sehat.
Bahkan Profesor Willet juga menyatakan bahwa dari beberapa penelitian, dicurigai adanya hubungan antara minum susu lebih dari dua kali sehari dapat meningkatkan risiko terkena kanker prostat pada laki-laki dan kanker ovarium pada perempuan. Namun hal ini belum dapat dikonfirmasi lebih jauh karena beberapa penelitian menunjukkan hasil yang berbeda.
Masih ada lagi beberapa kecurigaan lain sehubungan dengan minum susu, seperti kemungkinan terpajan oleh antibiotik maupun hormon yang diberikan pada sapi. Namun hal ini pun masih menjadi perdebatan karena jumlah dan jenis antibiotiknya berbeda dan hormon yang dipergunakan baru bisa mempengaruhi manusia jika langsung diinjeksikan ke dalam darah.
Pada dasarnya, minum susu adalah sebuah kebiasaan yang baik namun tidak diharuskan. Mengingat lebih dari 80% orang Asia mengalami intoleransi terhadap laktosa atau alergi susu sapi. Minum susu masih dianggap sebagai alternatif untuk meraih manfaat yang dikandungnya. Namun kita pun masih dapat mencari sumber nutrisi lain yang mengandung zat-zat yang dibutuhkan tersebut.
Selain itu, untuk sehat, Anda tetap harus mengikuti pola makan sehat, banyak bergerak dan tidak merokok maupun minum minuman beralkohol. Drink your milk!
Referensi:
- Feskanich D, Willet WC, Colditz GA. Calcium, vitamin D, milk consumption, and hip fractures: a prospective study among postmenopausal women. Am J. Clin Nutr. 2003;77:504-11.
- Giles-Smith, Karen, M.S., RD, Milk Proteins: Packing a Powerful Nutritional Punch. Today’s Dietitian, Issue Vol. 15:26, 2013.
- Song Y., Chavarro JE, Cao Y, et al. Whole milk intake is associated with prostate cancer-specific mortality among U.S. male physicians. J Nutr. 2013;143:189-196.