[quote type=”center”]Menyibak budaya tabu dalam hal pendidikan seks untuk anak ternyata banyak manfaatnya. Tentu saja, tetap perhatikan tahapannya, ya. Yuk kita pelajari bersama di sini.[/quote]
[dropcap style=”font-size: 60px; color: #83D358;”]T[/dropcap]ahukah Ibu, berapa usia termuda yang melakukan hubungan seksual di negara kita? Berdasarkan data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2010 yang dilakukan oleh Balitbang Depkes RI, dari 3,0% remaja laki-laki dan 1,1% remaja perempuan yang belum menikah namun pernah melakukan hubungan seksual, sekitar 50% melakukannya pertama kali di usia 17-20 tahun.
Hal yang mengejutkan, ternyata 0,5% perempuan dan 0,1% laki-laki pertama berhubungan seksual di usia 8 tahun! Ketika ditanya lebih lanjut, ternyata hanya 13,7% remaja usia 10-14 tahun yang pernah mendapatkan penyuluhan kesehatan reproduksi.
Mengapa penting sekali memperhatikan usia anak ketika memberikan pendidikan seksualitas? Karena anak bertumbuh dan berkembang, baik dari sisi fisik, kognitif, emosi dan sosial, dan ini semua berbeda di tiap usia.
Perlu kita ketahui bahwa pendidikan seksualitas yang tepat bisa menunda usia hubungan seks pertama kali. Di sisi lain, kesalahpahaman tentang seksualitas bisa menyebabkan berbagai keluhan dan gangguan seksual di usia dewasa, bahkan dapat menjadi gangguan perilaku.
Usia bayi
Mulailah dari menyebutkan nama-nama anggota badannya ketika sedang memandikan atau bermain dengannya, agar ia mendapatkan kosa kata seksualitas. Bagi bayi, penis dan vagina tidak lebih jorok daripada tangan, kaki, atau hidung. Bayi pun perlu membiasakan diri untuk bersih, misalnya dengan langsung mengganti popoknya setelah ia buang air kecil ataupun besar.
Usia batita
Pada usia ini, anak perlu belajar tentang perbedaan jenis kelamin, lewat panggilan papa-mama atau kakek-nenek, juga membedakan gambar anak laki-laki dan perempuan. Ia perlu tahu dari bagian mana ia buang air, dan belajar untuk mengendalikan buang airnya lewat proses belajar pipis atau buang air besar di toilet.
Menganggap batita yang telanjang itu lucu? Itu masa lalu. Masa kini, batita juga perlu belajar ‘rasa malu’, biasakan untuk mengganti bajunya di ruang tertutup, jangan jadikan anak tontonan tanpa busana yang layak. Untuk menjaganya dari pelecehan seksual, batasi hanya orang yang Anda percaya yang boleh memandikan atau menggantikan baju anak.
Usia balita
Si balita kini perlu belajar untuk membersihkan dirinya seusai buang air, juga belajar mandi sendiri, walaupun tentunya masih perlu diawasi agar betul-betul bersih. Balita juga perlu belajar mengganti bajunya sendiri di ruang tertutup. Beritahu balita bahwa yang boleh menyentuh alat kelaminnya hanya dia sendiri, orangtua (atau orang lain yang mengasuhnya), serta dokter, itu pun hanya jika memandikan atau memeriksa.
Anak perlu diajarkan bahwa jika ada yang menyentuh alat kelaminnya, di luar memandikan atau memeriksa, maka anak harus segera menyampaikannya kepada orangtua. Terkadang balita senang menyentuh atau memainkan alat kelaminnya. Beritahu bahwa memainkan alat kelamin akan membuat tangan dan alat kelaminnya sama-sama kotor, selain itu tentunya malu kalau terlihat orang lain.
Anak besar (6-8 tahun)
Kini ia sudah harus mandi dan berganti pakaian tanpa bantuan, sehingga betul-betul meminimalkan sentuhan dari orang lain pada tubuhnya. Pergaulan anak semakin luas, jadi anak juga perlu belajar untuk menghargai orang lain, contohnya tidak bercanda dengan mengangkat-angkat rok teman. Anak juga perlu belajar tentang perbedaan sentuhan yang sopan dan tak sopan dari teman atau orang lain. Ajarkan cara menolak sentuhan orang lain, agar ia bisa berusaha mengamankan dirinya.
Praremaja (9-12 tahun)
Beberapa anak usia ini sudah mengalami pubertas, oleh karena itu, sudah perlu adanya pembicaraan tentang perubahan tubuh, menstruasi dan mimpi basah, juga perubahan emosional yang terjadi kelak. Ia juga perlu tahu bahwa perubahan seperti bertambah tinggi secara cepat, terus mengantuk, mudah marah, ataupun tiba-tiba tertarik pada teman lawan jenis, adalah hal yang wajar dialami anak seusianya. Walaupun wajar, tentunya anak perlu diajak berpikir tentang apa yang sebaiknya dilakukan atau tak dilakukan terhadap teman-temannya.
Sebetulnya, pendidikan seksualitas pada anak sama sekali tak perlu menyinggung tentang hubungan seks. Anak justru diajari untuk membersihkan dan menjaga dirinya, sehingga ia jadi lebih bertanggungjawab terhadap tubuhnya. Dengan demikian, tak ada alasan untuk menolak melakukan pendidikan seksualitas, jika dilakukan dengan cara yang tepat, bukan ?
Apa sebutan alat kelamin ?
Para ahli dari Barat menyarankan menyebut ‘penis’ untuk alat kelamin laki-laki dan ‘vagina’ untuk alat kelamin perempuan. Istilah ini disarankan karena bersifat universal sehingga menghindari kesalahpahaman. Bayangkan, bila penis disebut ‘burung’, anak mungkin bingung membedakan dengan binatang burung. Saat ini belum ada kesepakatan istilah di Indonesia sehingga kita masih mengikuti istilah itu. Merasa jengah menyebutkan ‘penis’ dan ‘vagina’? Dibiasakan saja. Tentu saja Anda boleh menyebutkannya dengan suara lebih pelan, agar anak paham bahwa bagian kemaluan tak perlu diucapkan keras-keras.