“Boleh minum kopi, gak?”
“Bagaimana kalau mie instan, Dok?”
Pertanyaan ini diajukan Fita (24), saat kontrol pertama kehamilannya di dokter kandungan. Fita sedikit cemas akan kebiasaan makannya di tempat kerja selama ini, sebelum kehamilan.
Apakah bisa diteruskan saat hamil?
Apakah bisa memengaruhi sang bayi?
Seberapa banyak ibu hamil harus makan dan bagaimana menunya?
Semakin cerdas
Di generasi kira-kira 15 tahun sebelumnya, makanan tidak pernah menjadi perhatian dalam kehamilan. Bahkan sering dijadikan kebanggaan, bahwa saat hamil tidak menjadi repot untuk menyantap apa saja dan tanpa pantangan. Di Indonesia, perhatian akan makanan mulai menjadi topik pertanyaan saat kontrol kehamilan, walau belum seperti di dunia barat.
Di Negara maju, pertanyaan ‘berapa porsi ikan (laut) yang dimakan?’, ‘berapa porsi buah-buahan’ atau berapa ‘porsi susu yang diminum’ menjadi pertanyaan rutin di formulir kesehatan saat asuhan kehamilan pada ibu-ibu hamil. Bahkan edukasi keamanan makanan akan PCB, toksoplasmosis dan kadar air raksa adalah hal yang biasa dalam konsultasi kehamilan.
Perhatian akan makanan saat kehamilan sebetulnya telah menjadi perhatian sejak lama. Pertama, bayi yang sehat dan sempurna menjadi keinginan setiap ibu. Kedua, perhatian ini mungkin karena ketidaktahuan akan proses kehamilan dan perkembangan bayi dalam kandungan. Sehingga makanan/nutrisi menjadi faktor yang dirasa dan diupayakan untuk ‘menyempurnakan’ bayi selama dalam kandungan.
Naluri ini tidak lah salah. Makanan atau nutrisi memang mempengaruhi bayi. Sejak 10 tahun terakhir ini fenomena ini menjadi bahan kajian, yang disebut sebagai ‘asal perkembangan kesehatan dan penyakit’ (developmental origin of health and disease).Bahkan setiap tahunnya ada pertemuan ilmiah khusus tentang ini.
Tidak berlebihan
‘Wanita hamil mau tidak mau harus menghindari kepuasan (makan)‘. Inilah catatan tertua pengaruh makanan dalam kehamilan oleh Galen di abad kedua. ‘Wanita tidak seharusnya berlebihan dalam makanan’, tulis Galen, sehingga bisa mencapai cukup bulan tanpa komplikasi, lancar melahirkan, dan bayi yang sehat dan besar. Dalam kita suci Hakim-hakim, ditulis bahwa Malaikat berpesan ke ibu saat hamil Samson untuk ‘Tidak meminum anggur atau alkohol dan makan makanan yang bersih.’
Publikasi pertama diet pada kehamilan ditulis oleh dokter kebidanan Hamburg Ludwig Prochownick di tahun 1889. Defisiensi nutrisi saat itu mengakibatkan banyak tulang pelvis wanita usia reproduksi tidak optimal. Ditambah belum adanya operasi sesar yang aman, membuat persalinan sangat berbahaya bila ukuran bayi besar atau tidak sesuai panggul ibu. Bayi yang ‘terjebak’ di dalam akan menyebabkan kematian ibu saat melahirkan. Diet yang disarankan adalah tinggi protein, rendah kalori, dengan sedikit gram dan sedikit juga minum.
Berdasarkan observasi pada tiga ibu hamil, Prochownick lalu mengklaim bayi lebih kecil dan lebih mudah dilahirkan. Diet seperti ini juga, dengan porsi sedikit diubah, juga disarankan sampai sekarang. Terutama di Jepang, yang pernah saya alami, bahwa dokter kebidanan sering khawatir akan kesulitan persalinan sehingga menyarankan ibu untuk membatasi pertambahan berat badan selama kehamilan. Sang bayi diharapkan tetap kecil dan mudah dilahirkan.
Bayi = ‘Parasit’?
Pandangan awal dulu adalah bayi dalam kandungan adalah ‘parasit yang paling baik‘, akan selalu mendapatkan apa yang diperlukan dari sang ibu. Bayi akan mencari dan mendapatkan sendiri nutrisi yang dibutuhkan untuk perkembangannya, sehingga ibu lebih baik makan tanpa batasan. Bayi yang besar adalah semakin baik.
Pandangan ini masih di anut sampai tahun 1960-1970an. Sampai kemudian ada beberapa pengkajian menunjukkan bahwa ibu yang menerima nutrisi yang cukup menghasilkan bayi yang sehat.Tetapi pandangan ini kemudian hanya bertahan sebentar. Dua pertiga ibu hamil di Amerika menjadi berlebihan beratnya, dan satu dari lima ibu melahirkan adalah terlalu gemuk (obese). Sehingga kemudian dibuat panduan penambahan berat badan pada ibu hamil. Sampai tahun 2009 pun, studi menunjukkan 73% ibu hamil tidak mengikuti penambahan berat badan yang direkomendasikan.
Kenapa berat badan menjadi penting untuk di rekomendasikan? Dari studi epidemiologi, berat badan menjadi faktor keluaran yang buruk bagi kehamilan, seperti ibu yang terlalu gemuk (obese) lebih beresiko melahirkan bayi dengan kelainan. Studi Archieves of Pediatric and Adolescent Medicine, membahas kelainan terjadi dua kali lebih sering pada ibu dengan obese.
Ibu hamil obese = Anak obese
Studi tahun 2009, melaporkan insiden bayi dengan defek jantung lebih tinggi 15% pada ibu obese. Mungkin yang lebih merepotkan adalah, bayi yang lahir dari ibu obese atau bertambah berat badannya berlebihan saat hamil, mungkin akan menjadikan nanti anaknya obese.
Studi tahun 2007 dari 1044 ibu oleh Harvard Medical School, menunjukkan bahwa penambahan berat badan saat hamil berhubungan dengan berat anak pada usia tiga tahun. Studi pada tahun berikutnya oleh tim yang sama, menunjukkan bahwa efek ini mencapai anak pada usia remaja. Remaja dari ibu yang obese memiliki berat yang berlebih dibanding remaja yang ibu tidak obese.
Hasil penelitian kemudian dikritik dengan mengkambing-hitamkan genetik ibu: kebiasaan makan dari ibu turun ke anak. Lalu bagaimana bisa mengetahui lingkungan saat hamil mempengaruhi sang bayi tanpa pengaruh genetik atau kebiasaan ibu? Untuk ini, penelitian mengkaji bayi-bayi dari ibu yang telah menjalani bedah bariatrik (pembedahan membuang sebagian lambung untuk pengobatan kegemukan yang masif) dibandingkan dengan bayi yang lahir sebelum operasi bariatrik. Ibu yang sama, dengan lingkungan yang berbeda: satu masih gemuk dibandingkan kemudian saat kurus.
Pada studi 2006, di jurnal Pediatrics, menyimpulkan bahwa anak yang lahir setelah operasi, 52% tidak menjadi ikut gemuk dibanding saudaranya yang lahir saat ibunya masih gemuk atau sebelum operasi bariatrik. Walau sang anak mewarisi genetik ibu yang gemuk, namun mereka tidak sertamerta menjadi gemuk dibandingkan saudaranya. Studi kedua, oleh grup yang sama, menyimpulkan bahwa anak yang lahir setelah ibunya menjadi kurus mempunyai berat lahir yang lebih rendah dan tiga kali tidak menjadi gemuk dibandingkan saudaranya.
Ibu hamil suka junk food, anak juga suka
Mekanisme ibu yang gemuk saat hamil (dan sebelumnya) dapat memprogram anak menjadi gemuk atau tidak, belum lah diketahui.Mungkin lingkungan dalam rahim (intrauterin) mempengaruhi fungsi pankreas yang menghasilkan insulin dan gula darah.Mungkin lingkungan intrauterin juga menghasilkan perubahan komposisi tubuh bayi. Pada penelitian lainnya, terbukti bayi yang lahir dari ibu yang gemuk mempunyai kadar yang tidak optimal dari leptin dan ghrelin, dua hormon yang mengatur nafsu makan.
Studi pada binatang menyimpulkan hal yang sama: pilihan makanan pada saat kehamilan mempengaruhi minat makan dari bayinya. Tahun 2007, di jurnal British Journal of Nutrition, peneliti dari Royal Vetenary College memberi tikus hamil satu grup dengan makanan normal dibandingkan grup lainnya dengan makanan junk food yang ditemui di supermarket.
Setelah melahirkan, anak-anaknya kemudian diobservasi. Anak tikus dari ibu yang memakan junk food,95 persen lebih makan berlebih dibanding anak dari grup dengan makanan biasa. Grup itu mengkonsumsi 22% kalori lebih banyak, sehingga 25% lebih gemuk dibanding grup normal. Observasi ini mungkin menjelaskan ibu yang mengkonsumsi junk food selama kehamilan bisa membuat anaknya lebih menyukai junk food juga dan lebih mungkin menjadi gemuk.
Mendidik kebiasaan makan anak
Bila dilihat dari sisi lain, kebiasaan makan saat hamil bisalah dipakai untuk ‘mendidik’ anak akan kebiasaan makan. Pada penelitian tahun 2001, satu grup ibu diminta meminum jus wortel selama kehamilan trimester ketiga, sedang grup lainnya hanya minum air biasa.Enam bulan kemudian bayinya ditawarkan jus wortel selain makanan sereal. Bayi dari ibu yang meminum jus wortel, lebih menyukai dan meminum jus wortel dibanding bayi dari grup ibu yang meminum air biasa.
Banyak penelitian lainnya pada binatang mendemonstrasikan sang anak menyukai rasa makanan yang ibu makan saat hamil. Beberapa penelitian pada manusia, juga menunjukan hal yang sama. Bayi yang lahir bukanlah dalam keadaan yang kosong, namun telah dibentuk atau diprogram selama dia berada dalam kandungan.